Kaidah Fiqh Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqh yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al
fiqhiyah pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama, kaidah fiqh yang hanya diperuntukkan untuk
masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertical antara setiap
individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqh yang memang sengaja
dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang horizontal
antar manusia itu sendiri, selain di dalam terdapat nilai-nilai hubungan
vertical karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang
tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Dalam pembahasan ini, pemakalah akan mencoba membahas cabang-cabang
kaidah Al-Yaqin La bi Syakk. Menurut penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas
karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk. Kaidah ini
menghantarkan kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang
kadang kala menimpa pada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum
dengan menolak keragu-raguan. Telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah
adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum
secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya termasuk di dalamnya adalah aqidah dan
ibadah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana landasan dalil dan makna dalil Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
2.
Bagaimana pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
3.
Bagaimana Macam-macam kaidah cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui landasan dalil dan makna dalil Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
2.
Untuk Mengetahui pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
3.
Untuk Mengetahui Macam-macam kaidah cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Dalil & Makna Dalil
1. Al-Quran
Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah firman Allah Swt. Dalam QS.
Yunus : 36 `yang berbunyi :
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا
يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja
sesungguhnya prasangka tidak akan
mengantarkan kebenaran sedikitpun.”
Ayat ini pada mulanya meyoroti karakter orang-orang musyrikyang
seringkali berpegang pada prasangka yang tidak bisa dibuktikan kebenaranya.
Terhadap tuhan yang mesti disembah pun mereka cenderung berimajinasi pada benda-benda
mati yang dlam presepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan
kelangsungan hidup. Dengan hal ini Allah swt. Memberi penegasan akan hal yang
mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak; yakni yang jelas-jelas dapat
menunjukan pada kebenaran, bukan yang masih diragukan. Karena walau
bagaimanpun, hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak
dapat disejajarkan dengan keyakinan. Daripenegasan ini kan memunculkan
keniscayaan bahwa apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk
mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini sebelumnya, sudah barang tentu tidak
dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah ada selama belum ada elmen-elemen
fundamental yang dapat menunjukan bukti valid bahwa keyakinan itu tidak sesuai ذkenyataan
2.
Hadits
Hadis nabi
muhammad yang menjadi pondasi kaidah ini antara lain
اِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئاً فَأَشْكَلَ
عَلَيْهِ ، شَيْءٌ أَمْ لَا ؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا.(روه مسلم)
Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatudi
dalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari perutnya)
atautidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalatnya), sampai
i mendengar suara atau mencium bau” (H.R Muslim)
Menurut al nawawi, hadis ini merupakan salah satu
landasan dasar yurisprudensi ilam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya
kaidah kaidah fiqh. Dari hadis ini pula terbangun konsep serta metodologi
nanalitis mengenai sttus objek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya
yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan mampu
mempengaruhi kesliannya.
Secara
eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah
telah merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini nabi
menegaskan, keraguan yang baru muncul itu tidak dapat mempengaruhi status
wudlunya. Kecuali dia memang benar-benar mendengar bunyi atau mencium bau angin
tersebut. Proses mendengar atau mencium bau ini, bisa dijadikan indikasi kuat
(amarah) bahwa wudlunya telah batal.
Kedua, Hadits
riwayat Bukhari-Muslim r.a :
شكِى الى رسولِ اللّه عليه وسلم الرَجُلُ يُخَيَّلُ اليْهِ
أنهُ يَجِدُ الشَئَ فِى الصَّلَاةِ، لا يَنْصَرِ ف حتى يَسْمَعَ صَوتًا أو يجِدَ
رِيَحًا
Nabi saw diberi kabar mengenai seseorang yang mersakan angin (yang
kelur dari perut) dalam shalatnya. Beliau bersabda “janganlah dia berhenti
shalat sampai ia mendengar suara atau mencium bu.”
Hadis kedua ini
merupakan ‘lanjutan’ dari hadts pertama, sekaligus penegasan akan substansi
yang terkandung di dalamnya. Dalam hadits ini , Nabi saw kembali menegaskan dua
hal; keraguan yang berupa perasaan keluar angin tidak dapat merubah status
hukum yang telah diyakini sebelumnya, yakni kondisi suci dalam shalat; kedua,
keyakinan yang ada hanya dapat ‘dikalahkan’ oleh keyakinan yang lain; berupa
kepastian batalnya shalat disebabkan keluarnya ‘angin’ yang bisa dipastikan
dengan mendengar suara atau mencium baunya, Ketiga, hadits riwayat muslim r.a :
إِذَ شَكَّ أَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ
صلَّى ثَلاثًا أمْ ارِبعًا ؟ فَلْيَطْرَح الشَكٌ ولْيَبْنِ عَلي مَا اسْتَيْقَنَ،
ثُمً يَسْجُد سَجْدَ تَيْنِ قَبْلَ اًنْ سَلٌمَ، فَإنْ كَنَ صَلٌي خَمْسًا شفعن له
صلاته، وان كان صلي إتما ما لاربع كانتا ترْغيمًا للشيطَا ن
“Apabila diantara kalian ragu dalam shlatatnya apakah dia
telah mencapai tiga atau empat rakaat ? maka hendaknya di membuang jauh-jauh
keraguan itu dan berpegang lah pada keyakinannya, kemudin sujud (sujud sahwi)
lah dua kali sebelum salam. Jika
(kenyataanya) dia shalat smpai lima rakaat, maka shalatnya akan genaplah
shalatnya. Namun bila empat rakaat, dua sujudnya akan membuat malu setan.”
Secara
substantif, hadits ini sama dengan dua hadis sebelumnya, walaupun objeknya
berbeda. Jika pada dua hadits sebelumnya yang disinggung adalah keraguan
seseorang mengenai status hukum wudlu, maka hadits ketiga ini berbicara
mengenai keraguan yang terjadi pada jumlah bilangan rakaat. Pabila dalam shalat timbul keraguan
mengenai jumlah bilangan rakaat, maka yang dijadikan pedoman ( ma istayqana)
adalah bilangan minimal. Sebab bilangan inilah yang diyakini. Karena apabila
yang dipilih adala bilangan yang lebih besar, maka akan ada salah perhitungan.
Tetapi jika jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai landasan untuk untuk
meneruskan shalat kemungkinan salahnya sangat tipis.
Keempat, hadist
riwayat al Turmudzi r.a :
أِذَا سَهَا أحَدُكُمْ فِى صًلاتِه فَلَمْ يَدْرِ وَحِدةً
صلَّى أمْ اثْنتَيْنِ فَلْيَبْنِ على وَاحِدةٍ، فأنْ لْم يتيقًنْ صلى اثْنينِ،
فأنْ لَمْ يَدْرِ أثلاثًا صلَّى أمْ أرْبعَا فلْيبْنِ على ثلاثٍ، و لْيَسْحُدْ
سَحْدَتَيْنِ قَبل أنْ يُسلِّمَ.
“ Ketika salah satu diantara kamu sekalian lupa di dalam shalat,
apakah sudah mencapai satu atau dua rakaat ? Maka maka hendaklah dia meyakini
sebagai rakaat pertama . apabila kalia tidak yakin apakah shalat dua rakaat
atau tiga ? maka hendaklah meyakinkan pada rakaat yang kedua. Apanila tidak
tahu apakah tiga atau empat, maka hendaklah melanjutkan rakaat yang ketiga. Dan
hendaklah melakukan dua sujud (sahwi) sebelum salam.”
Dalam
hadits ini Nabi saw lebih menjelaskan maksud dari ma istayqana. Apabila ragu
antara satu dan dua, maka yang dipilih dalah satu. Demikian pula keraguan yang
terjadi antara dua dan tiga, maka yang dipilih adalah dua dan seterusnya.
Artinya bahwa, apabila terjadi keraguan dalam hal bilangan semisal jumlah
rakaat maka yang dijadikan pegangan (al-mu’tamar) adalah bilangan yang lebih
sedikit.
Dari
semua hadits yang telah disebutkan di atas, dapat dipetik satu peasn esensial
bahwa hukum segala sesuatu harus dilihat dan kondisi asal yang meyakinkan. Jika
kondisi semula adalah batal maka faktor eksternal yang muncul kemudian tidak
akan dapat mempengaruhi status hukum batal itu, sehingga hukumnya tetap batal.
Demikian pula apabila kondisi asal nya adalah sah, maka hukum selanjutnya tetap
sah, dengan catatang tidak ada bukti yang meyakinkan yang mampu merubahnya.
Darisinilah terbangun al yaqin la yuzalu bi al syak.[1]
B.
Pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk
Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti pengetahuan dan tidak ada
keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang
membingungkan.
Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni:
§ Menurut As-Syuyuthi Al-Yaqin adalah “sesuatu yang tetap dan
pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.
§ Menurut Imam
Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah “pengetahuan yang besifat tetap dan pasti dan
dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima
sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
§ Menurut Imam
Al-Maqarri Asy-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara
ada atau tidak ada”.
§ Menurut Imam
Al-Jurjani As-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara
sesuatu yang berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Untuk dapat memahami kaidah ini,
terlebih dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalan menangkap
sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :
1.
Al-Yakin
Secara
bahasa mengetahui dan hilangnya keraguan. Al-Yakin merupakan kebalikan dari
Al-Syakk. Bisa disimpulkan bahwa Al-Yakin adalah bentuk penetapan dan
penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan
yang tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan
semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sederajat.
2.
Ghalabah al Dzan
Ghalabah
al Dzan bisa digambarkan ketika seseorangdihadapkan pada dua kemungkinan. Ia
menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang
salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al
dzan.
3.
Al Dzan
Menurut
para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa
mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga
membuang lainnya yang lemah, maka inilah yang disebut al-dzan. Sedangkan jika
hati berpegang pada salah satunya dan membuang yang lain maka disebut
Ghalabatul al dzan.
4.
Al Syakk
Al-syakk
secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al-syak adalah
setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua
perkara dan hati tidak condong pada salah satunya. Sementara Al Razi
menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka disebut Al
Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah
disebut salah duga/al wahn.
C.
Macam-macam Kaidah Cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi al-Syak
1.
الْأَصْلُ مَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ(Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah
ini menandaskan bahwa suatu perkara yang telah
berada padaa suatu kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap
seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukan terhadap hukum
lain. Alasan utama mengapa hukum pertama harus dijadikan pijakan, karena dasar
segala sesuatu adalah tidak berubah dan tetap sepereti sediakala. Sementara
kemungkinan berubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat
spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum. Contohnya, seseorang
yang ragu apakah sudah berhadats atau belum, maka maka yang dijadikan ukuran
adalah kondisi yang sebelumnya. Apabila dalam kodisi sebelumnya i belum
berwudlu, maka ia dihukumi berhadats.tapi bila sebelumnya ia sudah bersuci maka
dihukumuisuci,
Contoh
yang lain adalah seseorang yang ketika shalat jumat meragukan apakah shalat
yang dilaksanakan sudah keluar waktu atau belum, keraguan semacam ini tidak
akan mempengaruhi keabsahan shalat yang sedang dilaksanakan. Sebab, keluarnua
waktu adlah sebuah kemungkinan yang bersifat baru, padahal kondisi asalnya,
waktu shalat jumat itu masih tetap ada, dan secara otomatis kondisi asal
tersebut teap bertahan hingga shalat selesai dilaksanakan.
Contoh
selanjutnya adalah seserorang yag sudah berniat wudlu sebelum membasuh muka
yang merupakan permulaan rukun wudlu. Biat itu ia laksanakan saat melaksanak
kesunahan wudlu, baik saat berkumur atau memasukan air ke hidung. Ketika mulai
membasuh muka, barulah timbul keraguan dalam hatinya, pakah niat ang dilakukan
sejak berkumur itu masih da atau hilang. Dalam kondisi seperti inia, wudlunya
tetap dihukumi sah, karena keraguan itu timbul dan bersifat spekulatif. Padahal
sebelumnya iatelah meyakini bahwa dirinya telah berniat sehingga niat tersebut
dianggap ada dan berlangsung hingga ia membasuh mukanya.[2]
2. الأصْلُ
بَرَاءَةُ الدِّمَةِ (Hukum
asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
"Hukum asal yang dijadikan kaidah oleh para Imam
adalah bara'ah adz-dzimrnah (bebas dari tanggungan), wahai orang yang mempunyai
himmah."
Penjelasan
Termasuk sub kaidah yang dijadikan hukum asal oleh ulama dan kaidah ke dua
adalah bara'ah adz-dzimmali (bebas dari menaggung hak-hak orang lain ketika
hak-hak tersebut tidak menjadi tanggungan seseorang. Berlandaskan kaidah ini, satu orang saksi saja tidak bisa menjadi
dasar penetapan seseorang harus menanggung hak-hak orang lain, selama tidak ada
bukti pendukung lain atau sumpah dari pihak penuntut. Berdasar kaidah ini pula,
yang ditenma dalam persidangan adalah statemen terdakwa, karena menetapi kaidah
asal. Kaidah mi hanya berlaku bagi orang yang belum ditetapkan memiliki
tanggungan, sehingga tidak berlaku bagi orang yang sudah ditetapkan memiliki
tanggungan. Berikut ini beberapa aplikasi sub kaidah di atas:
a.
Budi mendakwa Rafi, bahwa ia hutang kepadanya, sedangkan Rafi
menolak tuduhan Budi. Dalam kasus ini Rafi yang harus dibenarkan oleh hakim
dengan sumpahnya. Sebab, hukum asalnya adalah. Rafi tidak mempunyai tanggungan
hutang. Lain halnya jika Rafi mengakui punya hutang kepada Budi, dan menyatakan
telah melunasinya. Sebab, dalam kasus ini sudah ada ketetapan Rafi memiliki
tanggungan kepada Budi.
b.
Susi mengakui punya hutang satu juta pada Siti, sedangkan
Siti menyatakan bahwa hutang Susi sejumlah dua juta. Ddam kasus ini yang
dimenangkan adalah Susi, sebab pada prinsipnya Susi terbebas dari tanggungan
melebihi dari yang diakuinya sejumlah satu juta.
c.
Seseorang ragu,
apakah punya tanggungan qadha' shalat atau tidak? Maka ia tidak berkewajiban
mengqadha' sbalat, sebab hukum asalnya adalah terbebas dari tanggungan qadha'.
berbeda bila permasalahannya apakah hari ini sudah shalat atau belum? Maka ia
harus melaksanakan shalat, sebab sudah ada keyakinan kewajiban shalat pada hari
ini yang harus dilaksanakan, dan ketika ragu apakah teiah melaksanakan
kewajiban atau belum, maka dihukumi belum melaksanakan, sebagaimana kaidah
berikutnya.[3]
3.
الأ صْلُ عَدَمُ الفِعْلِ(Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan)
Kaidah ini
menandaskan, bahwaa pada dasranya setiap mukallaf dinilai belum melakukan
sebuah pekerjaan, sebelum pekerjan sudah benar-benar wujud secara nyata dan
diyakini keberadaaannya,. Bayak masalah-fasalah fiqhiyah yang termasuk cakupan
kaidah ini, diantaranya adalah seseorang yang meraskan eraguan dalam shalat
subuh, apakah ia telah mengerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan
melakukan sujud sahwi, karean hukum asalnya dia tidak melaksanakan qunut.
Selain itu dalam kaidah ini tercakup aidah lain yang memiliki ’nafas’
senada denngan kaidah diatas ayitu, seseorang yang telah yakin melakukansuatu
perbuatan tapi masih ragu, pakah yang dikerjaan adalah ilangan yang lebih
banyak atau sedikit, maka hendaknya ia meilih bilangan yang sedikit, karena
bilangan minimal ini sudah pasti dikerjakan. Contoh seorang suami yang
menceraikan istrinya, kemudian timbul keraguan apakah iaa telah menjatukan dua
atau tiga talak ? maka yang dijadikan pijaan hukum adalah bilangan talak yang
lebih sedikit, karena yang lebih sedikit adalah bilangan yang diyakini.[4]
4.
اللأ صْلُ فِى كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَانِ Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang lebih terdekat
Kaidah
diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab
madzhab Hanafi juga terdapat “hukum asala adalah penyandaran suatu peristiwa
kepada waktu yang lebih dekat dengannya” secara substansi sama saja.
Hukum
asal perkara yang baru datang adalah dikira-kirakan dengan waktu terdekat,
sebagaimanayangditetapkan."
Penjelasan
Maksud kaidah adalah hukum asal setiap perkara yang baru datang adalah
mengira-ngirakannya terjadi pada waktu yang paling dekat. Lebih jelasnya,
perhatikan beberapa contoh berikut:
a. Orang yang melihat sperma di pakaiannya,
padahal tidak ingat bermimpi basah, maka ia wajib mandi besar menurut pendapat
shahih. Ia juga berkewajiban mengulangi shalat-shalat yang dilakukan setelah
tidumya yang terakhir. Karena tidur terakhir itulah masa terdekat kemungkinan ia keluar sperma.
b. Dalam waktu
beberapa hari seseorang wudhu
di sumur, dan melakukan shalat. Lalu ia menemukan bangkai yang menajiskan
airnya. Dalam kasus ini, ia tidak wajib mengqadha'shalatnya kecuali shalat yang
diyakininya dengan najis tersebut.
c. Orang memukul
perut wanita hamil, lalu bayi di kandungannya lahir dalam keadaan sehat. Namun
dalam jarak beberapa waktu, si bayi meninggal. Dalam kasus ini, pemukul wanita[5]
5.
اللأ صْلُ فِى
الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum
asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya).
Penemuan penemuan baru yang tidak pada mas kini, telah dipersiaapkan
perangkat hukumnya secara lengkap oleh islam . jauh j-jauh hari islam telah meprediksikan
hal itu dan memberikan ketentuan-ketentuan hukum dalam bingkai kaidah yang
sangat sederhana, yaitu al ashlu al iabah.
Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan
hewan, tumbuhan atau apa sja, yang yang belum diketahui status hukumnya dalam
syari’at. Semua jenis
barang tersebut dihukumi halal, sesuai substansi yang terkandung kaidah ini.
Namun perlu
dicatat, sebenarnya masih tejadi perbedaan pendapat diantara kalangan ulam
seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama syafiiya menyatakan bahwa
hukum asal segala sesutu adalah halala, selama belum ada dalil yang
mengharamkanya. Sebaliknya beberapa ulamak hanfiyah berpendapat bahwa hukumasal
seala sesuatu adalah haram, selama tidak ada dalil yang menghalakan.[6]
6.
اللأ صْلُ فِى الْكَلَمِ الحَقِيْقَةُ
(Hukum asal dari
suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Makna asal suatu
ucapan adalah hakikatnya tidak boleh diarahkan pada makna majaznya kecuali
terdapat faktor yang menetapkan ucapan itu harus diarahkan pada majaz, seperti
tidak mungkin diarahkan pada makna hakikatnya. Maksud hakikat adalah lafal atau
kata yang digunakan sesuai dengan maksud lafal tersebut dimunculkan pertama
kalinya. Sedangkan majaz adalah penggunaan makna ke dua dari asal lafal
tersebut dimunculkan. Berikut beberapa cotoh aplikasi kaidah ini :
a.
Jika seseorang mewakafkan harta pada anaknya (5ST,i) maka cucunya
tidak masuk dalam lafal tersebut, sebab hakikat anak adalah anak kandung.
b.
Orang bersumpah tidak akan membeli sesuatu, kemudian ia mewakilkan
kepada orang lain untuk membeli barang, maka ia dihukumi tidak melanggar
sumpah. Sebab, pada hakikatnya ia tidak melakukan pembelian.
c.
Wakaf kepada orang hafal al-Qur'an, maka tidak memasukan orang yang
pernah hafal al-Qur'an namun lupa. Sebab, meski ia pernah hafal al-Qur'an, pada
hakikatnya sekarang sudah tidak hafal.
d.
Bersumpah tidak akan membeli barang. Maka orang yang bersumpah
tidak dihukumi melanggar sumpah kecuali dengan pembelian yang sah menurut
syara'. Sebab hakikat pembelian menurut syara' adalah pembelian yang sah.
e.
Bersumpah tidak akan memakan kambing, maka dihukumi melanggar
sumpah ketika memakan dagingnya, karena dagingnya merupakan hakikat dari
kambing. Namun ia tidak dihukumi melanggar sumpah jika memakan kulit atau
meminum susunya.[7]
7.
الأ صْلُ فِى الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْم (Hukum asal abdla’ (fajri) adalah haram)
Abdla
adlah bentuk jamak dari kata budl’ yang makna sinonimnya adalah fajr atau
vagina. Budl juga dapat berarti menikahi (tazwij), seperti halnya al nikah yan
mempunyai yang mempunyai dua arti; dapat diartikan bersetubuh (wath’i) dan akad
pernikahan (aqd al nikah) dalam redaksi lain, kaidah ini diungkapkan dengan
kata-kata; al ashlu fil al nikah al hadzru; hukum asal pada hal- hal yang
berhubungan dengan nikah adalah dilarang. Perbedaan redaksional pada kaidah ini
lebih dipicu oleh faktor penggunaan dua kata yang berbeda, yakni al budl dan al
nikah, yang sebenarnya memiliki kemiripan makna. Karena itu, dua kaidah ini
sebenarnya hanya berbeda ungkapan namun memiliki hakikta yang sama.
Secra
umum dua kaidah diatas mendasarkan bahwa, hukum asal perniahan, yang
selalu terkait dengan persoalan hubungan
intim antara suami istri, adalah haram. Sementara diperbolehkannya hubungan
seksual diantara keduanya, hanya berlaku setelah melalui proses pernikahan,
dilatarbelakangi oleh adanya suatu kebutuhan dasar dan mendesak, yaitu demi
menjaga kelestarian keturunan dan mempertahankan populasi manusia.
Dari
pokok pikiran semacam in, munculah pemahaman bahwa, bila hukum haram dan halal
berkumpul pada ‘diri’ satu orag wanita maka yang diunggulkan adalah hukum
haramnya. Dengan kata lain, yang dijadikan pijakan hukum pada diri wanita
adalah haram, sebab hukum asal budlnya haram. Contohnya bila seseorang suami
menalak tiga pada salah satu diantara keempat istrinya, tapi dikemudian hari ia
telah lupa siapa istri yang telah ia ceraikan, maka terdapa dua pendapat hukum
dalam hal ini
Pertama,
untuk menentuan siapa yang halal atau yang masih sah sebagai istrinya dan siapa
yang haram , maka harus dipilih dengan cara pengundian (qar’ah). Wanita yang
tidak keluar undiannya mempunyai hukum halal bagi sang suami. Statemen pertama
versi imam ahmad bin hambal ini didasri argumen, bila keadaan sangat mendesak
(dlarurat), maka kedudukan undian sama dengan saksi atau informan (mukhbir)
yang mampu memberi “informasi Hukum” secara valid.
Kedua,
utuk menyelesaikan permsalahan diatas tidak dengan mengundi, namun harus di
diamkan (tawaquf) dan menunggu waktu sampai ada kejelasan, siapakah istri yang
ditalak. Statemen terakhi ini di dukung oleh ibnu qadamah, dan statemen awal di
dukung oleh mayorita ualama mazdhab Hambali.[8]
8.
Tidak dianggap, persangkaan yang jelas salahnya
Apabi;a
seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor,kemudian wakil debitor
atau penanggung jawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang
belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggung jawabnya berhak
meminta dikembalikan uang yang dibayarnya, karena pemabyarannya dilakukan atas
dasar prasangka yang jelas segalanya.
9.
Tidak diakui adanya wahan (kira-kira)
Bedanya
zhann dan wahann adalah di dalamnya zhann yang salah itu prasangkaannya.
Sedangkan dalam wahann, yang salah itu zatnya. Apabila seseorang meninggal
dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli
waris yang dikira-kira.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa
dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan
bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain. Dalil
‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih
kuat daripada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’I yang
meyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak
boleh dirusak oleh keraguan.
[3] M Hamim, Ahmad Muntaha,
PENGANTAR KAIDAH FIQH SYAFI.IYAH (Santri Salaf Press : Kediri, 2013) hlam 44-45
[5] M Hamim, Ahmad Muntaha,
PENGANTAR KAIDAH FIQH SYAFI.IYAH (Santri Salaf Press : Kediri, 2013) hlam 49
[7] M Hamim, Ahmad Muntaha,
PENGANTAR KAIDAH FIQH SYAFI.IYAH (Santri Salaf Press : Kediri, 2013) hlam 54
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.