BIOGRAFI DAN
PEMIKIRAN TOKOH EKONOMI ISLAM INDONESIA
1. M. Dawam
Rahardjo
M. Dawam Rahardjo dilahirkan di desa Tempur Sari, Solo jawa
Tengah pada tanggal 20 April 1942.[3] Ayahnya adalah seorang ahli tafsir al-
Qur'an dan merupakan orang pertama yang menanamkan kecintaannya akan al-Qur'an
kepada Dawam Rahardjo. Sebagai orang yang berangkat dari keluarga muslim, sejak
kecil ia sudah kental dengan pendidikan agama. Dorongan dari keluarga muslim ini
pula yang mengantarkan dia tekun dan semangat di dalam mengkaji masalah-masalah
agama.
Bersama keluarganya Dawam Rahardjo tidak saja akrab dengan
pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam seperti pondok pesantren Jamsaren,
pesantren Krapyak atau organisasi perkotaan Muhammadiyah, tapi juga dekat
dengan ulama’ berpengaruh seperti KH. Imam Ghazali, KH. Ali Darokah, Ustadz
Abdurrahman. Walau dalam karir akademinya orang lebih mengenalnya sebagai
“jebolan sekolahan” yang pernah mengenyam pendidikan melalui program American
Field Service (AFS) atau pendidikan SMA di Boisie, Indaho Amerika Serikat dan
berhasil mendapat gelar sarjana ekonomi dari UGM ( Universitas Gajah Mada)
Yogyakarta.[4]
Dawam Rahardjo adalah seorang ekonom muslim yang mempunyai
segudang aktifitas dan pernah menduduki jabatan penting dalam organisasi,
diantaranya pernah menjabat ketua II dewan pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim indonesia), Direktur Utama Pusat Pengembangan Agribisnis, Ketua Dewan
Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Ketua Redaksi Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur'an dan Dosen di Lembaga Pendidikan Pengembangan Manajemen
(LPPM) Jakarta.[5]
Ø PEMIKIRAN
Sebagai seorang muslim sekaligus ekonom, Dawam Rahardjo
dalam mengkaji persoalan etika ekonomi Islam tidak terlepas dari al-Qur'an dan
Hadits. Menurut pengamatan Dawam, ada tiga penafsiran tentang istilah 'ekonomi
Islam', yaitu:
Ø Pertama, ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang
berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam. Maka akan timbul pengertian ajaran
Islam itu mempunyai pengertian yang tersendiri mengenai apa itu ekonomi.
Ø Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam adalah sistem ekonomi
Islam. Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam
suatu masyarakat atau Negara berdasar cara atau metode tertentu.
Ø Ketiga, Maksud dari penafsiran ini adalah sebagai
perekonomian dunia Islam,penafsiran ini muncul dari sifat pragmatis sebagaimana
dilakukan oleh Negara Islam.[6]
Dengan demikian gagasan Dawam mengenai etika ekonomi Islam
secara lebih jelasnya merupakan suatu usaha penyelidikan atau pengkajian secara
sistematis tentang perilaku, tindakan dan sikap apa yang dianggap benar atau
baik oleh kaum muslimin dalam hal ekonomi, sesuai tuntunan baik al-Qur'an
maupun Hadist. Nilai-nilai tentang yang benar dan yang salah serta yang baik
dan yang buruk di dalam kehidupan ekonomi didasarkan kepada konsep pemuliaan
terhadap anak adam. Manusia adalah mahkota ciptaan Allah. Manusia diciptakan
dalam bentuk yang paling indah. Tetapi kesempurnaan manusia sebagai mahluk, bukan
hanya dari segi fisiknya. Kehidupan manusia mengandung dua dimensi, jasmani dan
rohani. Karena aspek rohani ini bersifat unik pada manusia, dengan rohani itu
manusia memperoleh makna dalam hidupnya.[7]
Dawam Rahardjo menggambarkan perekonomian pada masa Namrud
dan Fir'aun, sistem ekonomi masyarakat pada waktu itu disusun secara komando,
sehubungan perkembangan kebutuhan yang meningkat dengan menimbulkan gagasan
untuk menghimpun manusia dalam jumlah yang banyak untuk mewujudkannya, sehingga
timbullah cara perbudakan yang didukung sistem kekuasaan. Sementara etika Islam
antara lain didasarkan atas prinsip kemerdekaan yang merupakan dasar dari hak
asasi manusia.
Dalam ajaran Islam, sumber rezeki itu adalah Allah. Dalam
system perbudakan dan feodal terdapat suatu kontradiksi. Dasar pemikiran kedua
sistem tersebut adalah, bahwa raja atau penguasa adalah sumber rezeki, karena
jiwa manusia dan tanah dikuasai oleh dan karena itu dianggap menjadi hak
sekelompok orang atau kelas tertentu.[8]
2. Muhammad
Syafi’I Antonio
Muhammad Syafii Antonio lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 12
Mei 1965.Nama aslinya adalah Nio Cwan Chung. Dia adalah WNI keturunan Tionghoa.
Sejak kecil mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya seorang
pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, Syafii Antonio juga mengenal
ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolah. Syafii Antonio
sering memerhatikan cara-cara ibadah orang-orang Islam. Syafii Antonio juga
sempat memeluk Kristen Protestan dan berganti nama dari Nio Cwan Chung menjadi
Pilot Sagaran Antonio. Meskipun demikian, Syafii Antonio tetap ingin
memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Untuk mengetahui kelebihan Islam
daripada agama-agama lainnya, termasuk agama yang dia anut saat itu, Syafii
Antonio melakukan studi komparatif dengan pendekatan sejarah, alamiah, dan
nalar atau rasional.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, hanya Islam yang menurutnya
benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama lain. Islam mengajarkan
ketauhidan dan memiliki kitab suci Al Quran yang penuh mukjizat, baik ditinjau
dari bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah,
dan berbagai aspek lainnya. Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan
hati, maka di saat berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, Syafii
Antonia putuskan memeluk agama Islam atas bimbingan KH Abdullah bin Nuh
al-Ghazali pada 1984. Keputusan tersebut tentu saja mendapat tantangan keras
dari keluarga. Bahkan dia sempat dikucilkan dan diusir dari rumah. Dengan
kesabaran dan tetap berprilaku santun terhadap keluarga, akhirnya membuahkan
hasil dan tidak lama kemudian ibundanya menyusul menjadi pengikut Nabi Muhammad
SAW.
Kesungguhan Syafii Antonio untuk menjadi muslim kaffah dia
tunjukkan dengan mengikuti berbagai diskusi agama Islam dan mempelajari bahasa
Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, di bawah pimpinan KH Abdullah Muchtar.
Meskipun dia kuliah di ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif
Hidayatullah. Itu pun tidak lama karena dia melanjutkan sekolah ke University
of Yourdan (Yordania). Selesai studi S1 di Yordania, Ia melanjutkan program S2
di International Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari
ekonomi Islam. Dan kemudian menyelesaikan gelar doktor di bidang perbankan dan
keuangan mikro di University of Melbourne tahun 2004 lalu.
Ia sempat bergabung dengan Bank Muamalat, bank dengan sistem
syariah pertama di Indonesia. Dua tahun setelah itu, ia mendirikan Asuransi
Takaful, lalu berturut-turut reksa dana syariah. Kemudian ia mendirikan Tazkia
Group yang memiliki beberapa unit usaha dengan mengembangkan bisnis dan ekonomi
syariah yang salah satunya adalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia.
Dedikasinya terhadap perkembangan ekonomi dan perekonomian umat Islam inilah
yang membuatnya kini dikenal sebagai salah satu dari sedikit ekonom Islam
Indonesia.
Ø PEMIKIRAN
Sistem ekonomi syariah dalam kehidupan masyarakat Islam di
dunia termasuk di Indonesia memiliki masalah di bidang itu. Jadi persoalan
terbesarnya adalah terkait dengan ekonomi alias kemiskinan. Penyebab kemiskinan
ini juga disebabkan oleh beberapa faktor. Ada kemiskinan yang berakar pada pola
pikir atau istilahnya konseptual problem. Tentang mana yang lebih baik antara
miskin, sabar, kaya syukur, apa yang dimaksud dengan qonaah, takdir miskin,
atau malas tidak mau berjuang, dan lainnya. Kemudian yang kedua miskin karena
masalah teknis, antara lain lack of competence, lack of marketing, dan lack of
financial management. Dan yang ketiga, miskin karena struktural, tidak terlalu
mendukung pada small and micro. Menurutnya, Islam itu agama yang siap untuk
dites secara hukum, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Bahkan secara
business and entrepreneurship, secara family system, dan financial system pun
Islam siap menjawabnya.[9]
Sistem perekonomian islam yang diterapkan di lembaga
keuangan dan perbankani belum lengkap misalnya bagaimana menarik dana-dana dari
Timur Tengah dengan satu obligasi negara yang berbasis syariah. Negara
Singapura, begitu tahu, langsung melakukan modifikasi pada penerapannya ke
dalam sistem yang ada, sehingga bisa memastikan dana-dana Timur Tengah itu
masuk. Bahkan Jepang juga melakukan itu, serta salah satu negara bagian di
Jerman sudah mulai melirik hal itu, begitu juga dengan China. Saya khawatir
Indonesia akan ketinggalan dalam hal melakukan deregulasi kebijakan sektor
finansial. Walaupun pembinaan perbankan syariah dan pembinaan asuransi syariah
sudah ada, tetapi masih belum ditingkatkan.
Antonia berpendapat bahwa manajemen syari’ah itu universal,
karena manajemen itu lebih kepada soft skill, lebih kepada kebiasaan, norma,
strategi. Karena melihat hal ini, maka peluangnya terbuka luas. Terutama dari
sisi SDM, sisi operasi, dari sisi pemasaran, dan keuangan. Ini yang
standar-standar saja, dan ini semua bisa dimasukan oleh norma manajemen. Hal
itu juga seperti dikatakan dalam Al-Quran, Sunnah, rukun Islam, rukun iman dan
sepanjang sejarah mereka memiliki kebijakan itu. Bahkan dalam ritual-ritual
seperti doa, sholat, puasa bisa sangat berpengaruh ke dalam efektivitas manajemen
terutama untuk pengembangan SDM, serta untuk manajemen keuangan dapat lebih
transparan.[10]
Bila kita mengenang kejayaan islam dan mempelajari
keunggulan dan peradaban sekaligus kepedihan. Unggul karena islam memiliki
semua dimensi yang diperlukan untuk maju. Pedih karena ketika semua keunggulan
mulai digenggam, para penguasa mulai melupakan kewajiban untuk menyejahterakan
masyarakat sehingga otoritas kekuasaannya tidak lagi ditopang oleh masyarakat
dan kapasitasnya. Hal ini juga pernah diungkapkan ekonom islam Ibnu Khaldun.
Dalam pandangannya, kejayaan adalah tali temali dari kekuasaan yang disegani.
Kekuasaan yang kokoh tidak tercipta tanpa ditopang oleh ekonomi yang tangguh.
Ekonomi yang kuat tidak lahir kecuali penguasa melangsungkan pembangunan. Dan
pembangunan hanya sia-sia bila tidak disertai pemerataan dan keadilan dalam
kerangka syariah.[11]
3. Adiwarman
Karim
Nama lengkap dan gelarnya adalah Ir.H. Adiwarman Azwar
Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., lahir di Jakarta pada 29 Juni 1963. Adiwarman
atau Adi (nama panggilan) merupakan cerminan sosok pemuda yang mempunyai
"hobi" belajar. Pendidikan tingkat S1 ia tempuh di dua perguruan
tinggi yang berbeda, IPB dan UI. Gelar Insinyur dia peroleh pada tahun 1986
dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun tahun 1988 Adiwarman berhasil
menyelesaikan studinya di European University, Belgia dan memperoleh gelar
M.B.A. setelah itu ia menyelesaikan studinya di UI yang sempat terbengkalai dan
mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1989. Tiga tahun berikutnya, 1992,
Adiwarman juga meraih gelar S2-nya yang kedua di Boston University, Amerika
Serikat dengan gelar M.A.E.P. Selain itu ia juga pernah terlibat sebagai
Visiting Research Associate pada Oxford Centre for Islamic Studies.
Modal akademis dan konsistensinya pada bidang ekonomi
menghantarkannya untuk meniti berbagai karir prestisius. Pada tahun 1992
Adiwarman masuk menjadi salah satu pegawai di Bank Mu’amalat Indonesia, setelah
sebelumnya sempat bekerja di Bappenas. Karir Adi di BMI terbilang cemerlang,
karir awalnya sebagai staf Litbang. Enam tahun kemudian ia dipercaya untuk
memimpin BMI cabang Jawa Barat. Jabatan terakhirnya di pionir bank syariah
tersebut adalah Wakil Presiden Direktur. Jabatan tersebut dipegang sampai
dengan tahun 2000, ketika ia memutuskan untuk keluar dari BMI.
Menurutnya, memutuskan keluar dari BMI bukan perkara
gampang. Sebab, bekerja di bank syari’ah sudah menjadi keinginannya sejak masih
menjadi mahasiswa. Karena itu ia baru berani memutuskan untuk keluar dari BMI setelah
melakukan shalat istikharah selama 6 bulan. Keluarnya Adiwarman dari BMI
disebabkan ia memiliki agenda yang lebih besar yang ingin dicapai, yaitu
memperjuangkan dibukanya divisi syari’ah di bank-bank konvensional. Hasil dari
upaya Adiwarman tersebut dapat dilihat sekarang ini, dengan dibukanya
divisi-divisi, unit dan gerai syari’ah di beberapa bank konvensional, meskipun
itu bukan satu-satunya faktor penyebabnya.
Setelah melepas jabatannya di BMI, pada tahun 2001 dengan
modal Rp. 40 juta Adiwarman kemudian mendirikan perusahaan konsultan yang
diberi nama Karim Business Consulting. Semula, banyak pihak termasuk yang
bergabung di perusahaannya awalnya memandang pesimis prospek perusahaan yang
dipimpinnya. Hal ini bisa dimaklumi, sebab ketika itu bank syari’ah di
Indonesia hanyalah BMI. Tetapi, seiring perkembangan ekonomi Islam dan
perbankan syari’ah di Indonesia, saat ini perusahaan yang dipimpinnya telah
menjadi rujukan pertama dari berbagai masalah ekonomi dalam perbankan Islam
atau Syari’ah.
Kontribusi Adiwarman dalam pengembangan perbankan dan
ekonomi syari’ah di Indonesia bukan saja sebagai praktisi, tetapi juga sebagai
intelektual dan akademisi. Ia menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi
ternama seperti UI, IPB, Unair, IAIN Syarif Hidayatullah dan sejumlah perguruan
tinggi swasta untuk mengajar perbankan dan ekonomi syariah. Di beberapa
perguruan tinggi tersebut ia juga mendirikan Shari’ah Economics Forum (SEF),
suatu model jaringan ekonomi Islam yang bergerak di bidang keilmuan. Lembaga tersebut
menyelenggarakan pendidikan non kulikuler yang diselenggarakan selama dua
semester dan dipersiapkan sebagai sarana "islamisasi" ekonomi melalui
jalur kampus.
Pada 1999, Adiwarman bersama kurang lebih empat puluh lima
tokoh dan cendikiawan Muslim Indonesia bersepakat mendirikan lembaga IIIT-I
(The International Institute of Islamic Thought-Indonesia). IIIT, sebagai induk
organisasinya yang berkedudukan di Amerika Serikat adalah lembaga kajian
pemikiran Islam yang berupaya mengeksplorasi Islamisasi ilmu pengetahuan
sebagai respon Islam atas perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Upaya itu semula
digagas oleh beberapa cendikiawan Muslim di Amerika Serikat pada tahun 1981. Di
Indonesia, upaya serupa telah dilakukan lewat pengembangan dan eksplorasi ilmu
ekonomi Islam. Meruahnya respon atas upaya ini terbukti salah satunya dengan
semakin banyaknya institusi-institusi perbankan yang mengadopsi sistem
syari’ah.
Sama seperti induk organisasinya, IIIT-Indonesia berkembang
sebagai sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di wilayah pemikiran dan
kebudayaan. IIIT-Indonesia bersifat independen, tidak berafiliasi dengan
gerakan lokal mana pun. Misi yang diembannya adalah mengembangkan pemikiran
Islam berikut metodologinya dalam kerangka meningkatkan kontribusi umat Islam
dalam membangun peradaban bersama yang lebih baik. Bersama dengan IIIT-I inilah
Adiwarman menebarkan gagasanya tentang ekonomi Islam.
Kepakaran Adiwarman di bidang ekonomi Islam semakin diakui
dengan ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Syari’ah Nasional dan terlibat
dalam mempersiapkan lahirnya Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Saat ini
Adiwarman sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Abdul Barri Karim
(12 tahun), Azizah Mutia Karim (11 tahun), dan Abdul Hafidz Karim (6 tahun)
dari pernikahannya dengan Rustika Thamrin (35 tahun), seorang Sarjana Psikologi
UI, pada usia 25 tahun.[12]
Ø PEMIKIRAN
Misi penegakkan syari’at yang diusung oleh Islam
fundamentalis mendapat reaksi dari kelompok liberal yang mengkampanyekan
sekularisme. Menurut kelompok ini, gerakan islam tidak perlu membawa isu
keagamaan ke dalam wacana public. Selain itu, dalam memanggapi persoalan
public, pendekatan agama tidak perlu dipakai dan cukup diganti dengan ilmu
pengetahuan. Demikian pula formulasi syari’at islam menjadi hukum positif tidak
diperlukan, karena dalam formalisasi itu negara harus memilih suatu mazhab
tertentu yang berarti akan menyingkirkan mazhab-mazhab yang lain. Karena
itulah, pilihan yang tepat adalah mengembalikan Islam kepada masyarakat untuk
menjalankan syari’at mereka secara otonom tanpa intervensi Negara.
Menurutnya, perbedaan pendapat dalam menyikapi isu-isu
actual seputar ekonomi dan perbankan syari’h atau Islam di Indonesia. Di bidang
ini, kelompok fundamentalis berusaha memperjuagngkan berlakunya syari’at Islam
dalam sistem ekonomi Islam, khususnya perbankan Islam. Sama halnya dengan
memperjuagkan syari’at Islam di bidang politik dan hukum. Bedanya, jika
perjuangan melalui jalur politik dilakukan dengan cara-cara radikal, sementara
perjuangan menegakkan ekonomi Islam cenderung memilih cara-cara gradual dan
demokratis.
Di Indonesia, fundamentalis yang memperjuangkan tegaknya
ekonomi Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok lagi, yaitu kelompok
professional dan kelompok intelektual. Kelompok fundamentalis professional
berorientasi pada praktek. Mereka merasa tidak perlu menunggu perkembangan
teori Islam menjadi mapan, serta mencukupkan diri dengan “piranti” teori yang
sudah ada, yaitu fiqh mu’amalah setelah dikonseptulaisasi. Golongan
professional inilah yang berada di balik pendirian BMI dan bank-bank Islam
lainnya.
Berbeda dengan fundamentalis intelektual yang berorientasi
pada teori. Mereka berupaya menyediakan bangunan teori-teori ekonomi yang kokoh
terlebih dahulu sebagai dasar pijakan bagi terlaksananya ekonomi islam secara
baik dan benar serta dapat diterima secara luas oleh masyarakat (ilmiah).
Sekalipun demikian, dalam upaya membangun teori tersebut kelompok fundamentalis
intelektual ini juga tidak sepaham. Kelompok ini memandang adanya perbedaan
antara ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Akibatnya adalah keduanya tidak akan
bisa bertemu. Istilah ekonomi Islam adalah istilah yang kurang tepat sebab ada
ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam tersebut.
Karena itu mazhab ini mengganti istilah ilmu ekonomi Islam dengan iqtisad yang
mengandung arti selaras, setara dan seimbang (in between). Kemudian menyusun
dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari al-Quran dan
Sunnah.
Adiwarman tidak lepas dari metode sejarah dan fiqh dalam
membangun keilmuan ekonomi Islam yang berupaya menjelaskan fenomena ekonomi
kontemporer dengan merujuk pada sejarah Islam klasik, terutama pada masa
Rasulullah. Khususnya sejarah pemikiran ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua
macam; yaitu sejarah yang memaparkan evolusi pemikiran di mana suatu pemikiran
dapat bersumber dari satu atau beberapa tokoh, dan sejarah yang menceritakan
riwayat hidup tokoh-tokoh besar di bidang ekonomi. Berdasarkan pembedaan ini,
Adiwarman cenderung untuk menggunakan pendekatan sejarah pemikiran ekonomi
maupun sejarah perekonomian. Suatu ketika dengan gamblang ia menceritakan
praktek perekonomian yang berlaku pada masa Rasulullah dan sahabat ataupun era
tertentu di kalangan umat Islam, tetapi pada saat yang lain ia mengkaji
beberapa tokoh ekonomi dan pemikir Islam. Dengan basis sejarah ini, nampaknya
Adiwarman berupaya menemukan landasan akar sejarah yang kuat bagi bangunan
teori ekonomi.
Selain pendekatan sejarah, Adiwarman juga menggunakan
pendekatan fiqh. Dalam pandangannya, fiqh tidak hanya berbicara pada aspek
‘ubudiyah semata. Fiqh berbicara aspek sosial masyarakat yang lebih luas,
terutama ketika dibingkai dalam wadah fiqhul waqi’iy (fiqh realitas). Dalam
format yang demikian, fiqh lebih merupaka suatu respon atas problematika
kontemporer sebagai suatu upaya menemukan jawaban dan solusi yang tepat bagi
suatu masyarakat tertentu dalam konteks tertentu pula. Karena itu Adiwarman
selalu berpegang pada adagium “li kulli maqam, maqal. Wa likulli maqal, maqam”.
(Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan setiap ungkapan, butuh waktu
yang tepat pula).
Pendekatan fiqh yang digunakan Adiwarman tidak berdiri
sendiri. Untuk dapat merespon fenomena ekonomik, prinsip-prinsip fiqh yang
diformulasikan ulama masa lalu ditarik pada perspektif ekonomi. Sederhananya
Adiwarman menggunakan istilah-istilah dan prinsip-prinsip fiqh dalam membahas
masalah-masalah ekonomi. Sebagai contoh ia menjelaskan fenomena distorsi
permintaan dan penawaran (false demand dan false supply) berdasarkan prinsip
al-bai’ an-najsy, ia juga menganalisis monopolic behaviour berdasarkan teori
tadlis dalam fiqh dan masih banyak lagi.
Meskipun begitu, Adiwarman menghindari melakukan islamisasi
ekonomi dengan cara mengambil ekonomi Barat lalu dicari ayat al-Quran dan
haditsnya. Menurutnya hal itu tidak dapat dibenarkan, karena itu memaksakan
al-Qur’an dan hadits cocok dengan pikiran manusia. Ekonomi Islam bukan ekonomi
konvensional lalu ditempeli al-Quran dan hadits.[13] Itulah sebabnya metode
yang ditempuh oleh Adiwaman adalah dengan melakukan “interpretasi bebas”
terhadap teks-teks al-Qur’an, as-sunnah dan fiqh dalam perspektif ekonomi.
Boleh minta sumbernya kak?
ReplyDelete