Saturday, February 25, 2017
1



  BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TOKOH EKONOMI ISLAM INDONESIA



1.      M. Dawam Rahardjo
M. Dawam Rahardjo dilahirkan di desa Tempur Sari, Solo jawa Tengah pada tanggal 20 April 1942.[3] Ayahnya adalah seorang ahli tafsir al- Qur'an dan merupakan orang pertama yang menanamkan kecintaannya akan al-Qur'an kepada Dawam Rahardjo. Sebagai orang yang berangkat dari keluarga muslim, sejak kecil ia sudah kental dengan pendidikan agama. Dorongan dari keluarga muslim ini pula yang mengantarkan dia tekun dan semangat di dalam mengkaji masalah-masalah agama.
Bersama keluarganya Dawam Rahardjo tidak saja akrab dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam seperti pondok pesantren Jamsaren, pesantren Krapyak atau organisasi perkotaan Muhammadiyah, tapi juga dekat dengan ulama’ berpengaruh seperti KH. Imam Ghazali, KH. Ali Darokah, Ustadz Abdurrahman. Walau dalam karir akademinya orang lebih mengenalnya sebagai “jebolan sekolahan” yang pernah mengenyam pendidikan melalui program American Field Service (AFS) atau pendidikan SMA di Boisie, Indaho Amerika Serikat dan berhasil mendapat gelar sarjana ekonomi dari UGM ( Universitas Gajah Mada) Yogyakarta.[4]
Dawam Rahardjo adalah seorang ekonom muslim yang mempunyai segudang aktifitas dan pernah menduduki jabatan penting dalam organisasi, diantaranya pernah menjabat ketua II dewan pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim indonesia), Direktur Utama Pusat Pengembangan Agribisnis, Ketua Dewan Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Ketua Redaksi Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an dan Dosen di Lembaga Pendidikan Pengembangan Manajemen (LPPM) Jakarta.[5]

Ø PEMIKIRAN
Sebagai seorang muslim sekaligus ekonom, Dawam Rahardjo dalam mengkaji persoalan etika ekonomi Islam tidak terlepas dari al-Qur'an dan Hadits. Menurut pengamatan Dawam, ada tiga penafsiran tentang istilah 'ekonomi Islam', yaitu:
Ø Pertama, ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam. Maka akan timbul pengertian ajaran Islam itu mempunyai pengertian yang tersendiri mengenai apa itu ekonomi.
Ø Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam adalah sistem ekonomi Islam. Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau Negara berdasar cara atau metode tertentu.
Ø Ketiga, Maksud dari penafsiran ini adalah sebagai perekonomian dunia Islam,penafsiran ini muncul dari sifat pragmatis sebagaimana dilakukan oleh Negara Islam.[6]

Dengan demikian gagasan Dawam mengenai etika ekonomi Islam secara lebih jelasnya merupakan suatu usaha penyelidikan atau pengkajian secara sistematis tentang perilaku, tindakan dan sikap apa yang dianggap benar atau baik oleh kaum muslimin dalam hal ekonomi, sesuai tuntunan baik al-Qur'an maupun Hadist. Nilai-nilai tentang yang benar dan yang salah serta yang baik dan yang buruk di dalam kehidupan ekonomi didasarkan kepada konsep pemuliaan terhadap anak adam. Manusia adalah mahkota ciptaan Allah. Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling indah. Tetapi kesempurnaan manusia sebagai mahluk, bukan hanya dari segi fisiknya. Kehidupan manusia mengandung dua dimensi, jasmani dan rohani. Karena aspek rohani ini bersifat unik pada manusia, dengan rohani itu manusia memperoleh makna dalam hidupnya.[7]
Dawam Rahardjo menggambarkan perekonomian pada masa Namrud dan Fir'aun, sistem ekonomi masyarakat pada waktu itu disusun secara komando, sehubungan perkembangan kebutuhan yang meningkat dengan menimbulkan gagasan untuk menghimpun manusia dalam jumlah yang banyak untuk mewujudkannya, sehingga timbullah cara perbudakan yang didukung sistem kekuasaan. Sementara etika Islam antara lain didasarkan atas prinsip kemerdekaan yang merupakan dasar dari hak asasi manusia.
Dalam ajaran Islam, sumber rezeki itu adalah Allah. Dalam system perbudakan dan feodal terdapat suatu kontradiksi. Dasar pemikiran kedua sistem tersebut adalah, bahwa raja atau penguasa adalah sumber rezeki, karena jiwa manusia dan tanah dikuasai oleh dan karena itu dianggap menjadi hak sekelompok orang atau kelas tertentu.[8]

2.      Muhammad Syafi’I Antonio
Muhammad Syafii Antonio lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 12 Mei 1965.Nama aslinya adalah Nio Cwan Chung. Dia adalah WNI keturunan Tionghoa. Sejak kecil mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, Syafii Antonio juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolah. Syafii Antonio sering memerhatikan cara-cara ibadah orang-orang Islam. Syafii Antonio juga sempat memeluk Kristen Protestan dan berganti nama dari Nio Cwan Chung menjadi Pilot Sagaran Antonio. Meskipun demikian, Syafii Antonio tetap ingin memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Untuk mengetahui kelebihan Islam daripada agama-agama lainnya, termasuk agama yang dia anut saat itu, Syafii Antonio melakukan studi komparatif dengan pendekatan sejarah, alamiah, dan nalar atau rasional.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, hanya Islam yang menurutnya benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama lain. Islam mengajarkan ketauhidan dan memiliki kitab suci Al Quran yang penuh mukjizat, baik ditinjau dari bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya. Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka di saat berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, Syafii Antonia putuskan memeluk agama Islam atas bimbingan KH Abdullah bin Nuh al-Ghazali pada 1984. Keputusan tersebut tentu saja mendapat tantangan keras dari keluarga. Bahkan dia sempat dikucilkan dan diusir dari rumah. Dengan kesabaran dan tetap berprilaku santun terhadap keluarga, akhirnya membuahkan hasil dan tidak lama kemudian ibundanya menyusul menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Kesungguhan Syafii Antonio untuk menjadi muslim kaffah dia tunjukkan dengan mengikuti berbagai diskusi agama Islam dan mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, di bawah pimpinan KH Abdullah Muchtar. Meskipun dia kuliah di ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itu pun tidak lama karena dia melanjutkan sekolah ke University of Yourdan (Yordania). Selesai studi S1 di Yordania, Ia melanjutkan program S2 di International Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam. Dan kemudian menyelesaikan gelar doktor di bidang perbankan dan keuangan mikro di University of Melbourne tahun 2004 lalu.
Ia sempat bergabung dengan Bank Muamalat, bank dengan sistem syariah pertama di Indonesia. Dua tahun setelah itu, ia mendirikan Asuransi Takaful, lalu berturut-turut reksa dana syariah. Kemudian ia mendirikan Tazkia Group yang memiliki beberapa unit usaha dengan mengembangkan bisnis dan ekonomi syariah yang salah satunya adalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia. Dedikasinya terhadap perkembangan ekonomi dan perekonomian umat Islam inilah yang membuatnya kini dikenal sebagai salah satu dari sedikit ekonom Islam Indonesia.

Ø PEMIKIRAN
Sistem ekonomi syariah dalam kehidupan masyarakat Islam di dunia termasuk di Indonesia memiliki masalah di bidang itu. Jadi persoalan terbesarnya adalah terkait dengan ekonomi alias kemiskinan. Penyebab kemiskinan ini juga disebabkan oleh beberapa faktor. Ada kemiskinan yang berakar pada pola pikir atau istilahnya konseptual problem. Tentang mana yang lebih baik antara miskin, sabar, kaya syukur, apa yang dimaksud dengan qonaah, takdir miskin, atau malas tidak mau berjuang, dan lainnya. Kemudian yang kedua miskin karena masalah teknis, antara lain lack of competence, lack of marketing, dan lack of financial management. Dan yang ketiga, miskin karena struktural, tidak terlalu mendukung pada small and micro. Menurutnya, Islam itu agama yang siap untuk dites secara hukum, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Bahkan secara business and entrepreneurship, secara family system, dan financial system pun Islam siap menjawabnya.[9]
Sistem perekonomian islam yang diterapkan di lembaga keuangan dan perbankani belum lengkap misalnya bagaimana menarik dana-dana dari Timur Tengah dengan satu obligasi negara yang berbasis syariah. Negara Singapura, begitu tahu, langsung melakukan modifikasi pada penerapannya ke dalam sistem yang ada, sehingga bisa memastikan dana-dana Timur Tengah itu masuk. Bahkan Jepang juga melakukan itu, serta salah satu negara bagian di Jerman sudah mulai melirik hal itu, begitu juga dengan China. Saya khawatir Indonesia akan ketinggalan dalam hal melakukan deregulasi kebijakan sektor finansial. Walaupun pembinaan perbankan syariah dan pembinaan asuransi syariah sudah ada, tetapi masih belum ditingkatkan.
Antonia berpendapat bahwa manajemen syari’ah itu universal, karena manajemen itu lebih kepada soft skill, lebih kepada kebiasaan, norma, strategi. Karena melihat hal ini, maka peluangnya terbuka luas. Terutama dari sisi SDM, sisi operasi, dari sisi pemasaran, dan keuangan. Ini yang standar-standar saja, dan ini semua bisa dimasukan oleh norma manajemen. Hal itu juga seperti dikatakan dalam Al-Quran, Sunnah, rukun Islam, rukun iman dan sepanjang sejarah mereka memiliki kebijakan itu. Bahkan dalam ritual-ritual seperti doa, sholat, puasa bisa sangat berpengaruh ke dalam efektivitas manajemen terutama untuk pengembangan SDM, serta untuk manajemen keuangan dapat lebih transparan.[10]
Bila kita mengenang kejayaan islam dan mempelajari keunggulan dan peradaban sekaligus kepedihan. Unggul karena islam memiliki semua dimensi yang diperlukan untuk maju. Pedih karena ketika semua keunggulan mulai digenggam, para penguasa mulai melupakan kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat sehingga otoritas kekuasaannya tidak lagi ditopang oleh masyarakat dan kapasitasnya. Hal ini juga pernah diungkapkan ekonom islam Ibnu Khaldun. Dalam pandangannya, kejayaan adalah tali temali dari kekuasaan yang disegani. Kekuasaan yang kokoh tidak tercipta tanpa ditopang oleh ekonomi yang tangguh. Ekonomi yang kuat tidak lahir kecuali penguasa melangsungkan pembangunan. Dan pembangunan hanya sia-sia bila tidak disertai pemerataan dan keadilan dalam kerangka syariah.[11]

3.      Adiwarman Karim
Nama lengkap dan gelarnya adalah Ir.H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., lahir di Jakarta pada 29 Juni 1963. Adiwarman atau Adi (nama panggilan) merupakan cerminan sosok pemuda yang mempunyai "hobi" belajar. Pendidikan tingkat S1 ia tempuh di dua perguruan tinggi yang berbeda, IPB dan UI. Gelar Insinyur dia peroleh pada tahun 1986 dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun tahun 1988 Adiwarman berhasil menyelesaikan studinya di European University, Belgia dan memperoleh gelar M.B.A. setelah itu ia menyelesaikan studinya di UI yang sempat terbengkalai dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1989. Tiga tahun berikutnya, 1992, Adiwarman juga meraih gelar S2-nya yang kedua di Boston University, Amerika Serikat dengan gelar M.A.E.P. Selain itu ia juga pernah terlibat sebagai Visiting Research Associate pada Oxford Centre for Islamic Studies.
Modal akademis dan konsistensinya pada bidang ekonomi menghantarkannya untuk meniti berbagai karir prestisius. Pada tahun 1992 Adiwarman masuk menjadi salah satu pegawai di Bank Mu’amalat Indonesia, setelah sebelumnya sempat bekerja di Bappenas. Karir Adi di BMI terbilang cemerlang, karir awalnya sebagai staf Litbang. Enam tahun kemudian ia dipercaya untuk memimpin BMI cabang Jawa Barat. Jabatan terakhirnya di pionir bank syariah tersebut adalah Wakil Presiden Direktur. Jabatan tersebut dipegang sampai dengan tahun 2000, ketika ia memutuskan untuk keluar dari BMI.
Menurutnya, memutuskan keluar dari BMI bukan perkara gampang. Sebab, bekerja di bank syari’ah sudah menjadi keinginannya sejak masih menjadi mahasiswa. Karena itu ia baru berani memutuskan untuk keluar dari BMI setelah melakukan shalat istikharah selama 6 bulan. Keluarnya Adiwarman dari BMI disebabkan ia memiliki agenda yang lebih besar yang ingin dicapai, yaitu memperjuangkan dibukanya divisi syari’ah di bank-bank konvensional. Hasil dari upaya Adiwarman tersebut dapat dilihat sekarang ini, dengan dibukanya divisi-divisi, unit dan gerai syari’ah di beberapa bank konvensional, meskipun itu bukan satu-satunya faktor penyebabnya.
Setelah melepas jabatannya di BMI, pada tahun 2001 dengan modal Rp. 40 juta Adiwarman kemudian mendirikan perusahaan konsultan yang diberi nama Karim Business Consulting. Semula, banyak pihak termasuk yang bergabung di perusahaannya awalnya memandang pesimis prospek perusahaan yang dipimpinnya. Hal ini bisa dimaklumi, sebab ketika itu bank syari’ah di Indonesia hanyalah BMI. Tetapi, seiring perkembangan ekonomi Islam dan perbankan syari’ah di Indonesia, saat ini perusahaan yang dipimpinnya telah menjadi rujukan pertama dari berbagai masalah ekonomi dalam perbankan Islam atau Syari’ah.
Kontribusi Adiwarman dalam pengembangan perbankan dan ekonomi syari’ah di Indonesia bukan saja sebagai praktisi, tetapi juga sebagai intelektual dan akademisi. Ia menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi ternama seperti UI, IPB, Unair, IAIN Syarif Hidayatullah dan sejumlah perguruan tinggi swasta untuk mengajar perbankan dan ekonomi syariah. Di beberapa perguruan tinggi tersebut ia juga mendirikan Shari’ah Economics Forum (SEF), suatu model jaringan ekonomi Islam yang bergerak di bidang keilmuan. Lembaga tersebut menyelenggarakan pendidikan non kulikuler yang diselenggarakan selama dua semester dan dipersiapkan sebagai sarana "islamisasi" ekonomi melalui jalur kampus.
Pada 1999, Adiwarman bersama kurang lebih empat puluh lima tokoh dan cendikiawan Muslim Indonesia bersepakat mendirikan lembaga IIIT-I (The International Institute of Islamic Thought-Indonesia). IIIT, sebagai induk organisasinya yang berkedudukan di Amerika Serikat adalah lembaga kajian pemikiran Islam yang berupaya mengeksplorasi Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai respon Islam atas perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Upaya itu semula digagas oleh beberapa cendikiawan Muslim di Amerika Serikat pada tahun 1981. Di Indonesia, upaya serupa telah dilakukan lewat pengembangan dan eksplorasi ilmu ekonomi Islam. Meruahnya respon atas upaya ini terbukti salah satunya dengan semakin banyaknya institusi-institusi perbankan yang mengadopsi sistem syari’ah.
Sama seperti induk organisasinya, IIIT-Indonesia berkembang sebagai sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di wilayah pemikiran dan kebudayaan. IIIT-Indonesia bersifat independen, tidak berafiliasi dengan gerakan lokal mana pun. Misi yang diembannya adalah mengembangkan pemikiran Islam berikut metodologinya dalam kerangka meningkatkan kontribusi umat Islam dalam membangun peradaban bersama yang lebih baik. Bersama dengan IIIT-I inilah Adiwarman menebarkan gagasanya tentang ekonomi Islam.
Kepakaran Adiwarman di bidang ekonomi Islam semakin diakui dengan ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Syari’ah Nasional dan terlibat dalam mempersiapkan lahirnya Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Saat ini Adiwarman sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Abdul Barri Karim (12 tahun), Azizah Mutia Karim (11 tahun), dan Abdul Hafidz Karim (6 tahun) dari pernikahannya dengan Rustika Thamrin (35 tahun), seorang Sarjana Psikologi UI, pada usia 25 tahun.[12]

Ø  PEMIKIRAN
Misi penegakkan syari’at yang diusung oleh Islam fundamentalis mendapat reaksi dari kelompok liberal yang mengkampanyekan sekularisme. Menurut kelompok ini, gerakan islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam wacana public. Selain itu, dalam memanggapi persoalan public, pendekatan agama tidak perlu dipakai dan cukup diganti dengan ilmu pengetahuan. Demikian pula formulasi syari’at islam menjadi hukum positif tidak diperlukan, karena dalam formalisasi itu negara harus memilih suatu mazhab tertentu yang berarti akan menyingkirkan mazhab-mazhab yang lain. Karena itulah, pilihan yang tepat adalah mengembalikan Islam kepada masyarakat untuk menjalankan syari’at mereka secara otonom tanpa intervensi Negara.
Menurutnya, perbedaan pendapat dalam menyikapi isu-isu actual seputar ekonomi dan perbankan syari’h atau Islam di Indonesia. Di bidang ini, kelompok fundamentalis berusaha memperjuagngkan berlakunya syari’at Islam dalam sistem ekonomi Islam, khususnya perbankan Islam. Sama halnya dengan memperjuagkan syari’at Islam di bidang politik dan hukum. Bedanya, jika perjuangan melalui jalur politik dilakukan dengan cara-cara radikal, sementara perjuangan menegakkan ekonomi Islam cenderung memilih cara-cara gradual dan demokratis.
Di Indonesia, fundamentalis yang memperjuangkan tegaknya ekonomi Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok lagi, yaitu kelompok professional dan kelompok intelektual. Kelompok fundamentalis professional berorientasi pada praktek. Mereka merasa tidak perlu menunggu perkembangan teori Islam menjadi mapan, serta mencukupkan diri dengan “piranti” teori yang sudah ada, yaitu fiqh mu’amalah setelah dikonseptulaisasi. Golongan professional inilah yang berada di balik pendirian BMI dan bank-bank Islam lainnya.
Berbeda dengan fundamentalis intelektual yang berorientasi pada teori. Mereka berupaya menyediakan bangunan teori-teori ekonomi yang kokoh terlebih dahulu sebagai dasar pijakan bagi terlaksananya ekonomi islam secara baik dan benar serta dapat diterima secara luas oleh masyarakat (ilmiah). Sekalipun demikian, dalam upaya membangun teori tersebut kelompok fundamentalis intelektual ini juga tidak sepaham. Kelompok ini memandang adanya perbedaan antara ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Akibatnya adalah keduanya tidak akan bisa bertemu. Istilah ekonomi Islam adalah istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam tersebut. Karena itu mazhab ini mengganti istilah ilmu ekonomi Islam dengan iqtisad yang mengandung arti selaras, setara dan seimbang (in between). Kemudian menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.
Adiwarman tidak lepas dari metode sejarah dan fiqh dalam membangun keilmuan ekonomi Islam yang berupaya menjelaskan fenomena ekonomi kontemporer dengan merujuk pada sejarah Islam klasik, terutama pada masa Rasulullah. Khususnya sejarah pemikiran ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua macam; yaitu sejarah yang memaparkan evolusi pemikiran di mana suatu pemikiran dapat bersumber dari satu atau beberapa tokoh, dan sejarah yang menceritakan riwayat hidup tokoh-tokoh besar di bidang ekonomi. Berdasarkan pembedaan ini, Adiwarman cenderung untuk menggunakan pendekatan sejarah pemikiran ekonomi maupun sejarah perekonomian. Suatu ketika dengan gamblang ia menceritakan praktek perekonomian yang berlaku pada masa Rasulullah dan sahabat ataupun era tertentu di kalangan umat Islam, tetapi pada saat yang lain ia mengkaji beberapa tokoh ekonomi dan pemikir Islam. Dengan basis sejarah ini, nampaknya Adiwarman berupaya menemukan landasan akar sejarah yang kuat bagi bangunan teori ekonomi.
Selain pendekatan sejarah, Adiwarman juga menggunakan pendekatan fiqh. Dalam pandangannya, fiqh tidak hanya berbicara pada aspek ‘ubudiyah semata. Fiqh berbicara aspek sosial masyarakat yang lebih luas, terutama ketika dibingkai dalam wadah fiqhul waqi’iy (fiqh realitas). Dalam format yang demikian, fiqh lebih merupaka suatu respon atas problematika kontemporer sebagai suatu upaya menemukan jawaban dan solusi yang tepat bagi suatu masyarakat tertentu dalam konteks tertentu pula. Karena itu Adiwarman selalu berpegang pada adagium “li kulli maqam, maqal. Wa likulli maqal, maqam”. (Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan setiap ungkapan, butuh waktu yang tepat pula).
Pendekatan fiqh yang digunakan Adiwarman tidak berdiri sendiri. Untuk dapat merespon fenomena ekonomik, prinsip-prinsip fiqh yang diformulasikan ulama masa lalu ditarik pada perspektif ekonomi. Sederhananya Adiwarman menggunakan istilah-istilah dan prinsip-prinsip fiqh dalam membahas masalah-masalah ekonomi. Sebagai contoh ia menjelaskan fenomena distorsi permintaan dan penawaran (false demand dan false supply) berdasarkan prinsip al-bai’ an-najsy, ia juga menganalisis monopolic behaviour berdasarkan teori tadlis dalam fiqh dan masih banyak lagi.
Meskipun begitu, Adiwarman menghindari melakukan islamisasi ekonomi dengan cara mengambil ekonomi Barat lalu dicari ayat al-Quran dan haditsnya. Menurutnya hal itu tidak dapat dibenarkan, karena itu memaksakan al-Qur’an dan hadits cocok dengan pikiran manusia. Ekonomi Islam bukan ekonomi konvensional lalu ditempeli al-Quran dan hadits.[13] Itulah sebabnya metode yang ditempuh oleh Adiwaman adalah dengan melakukan “interpretasi bebas” terhadap teks-teks al-Qur’an, as-sunnah dan fiqh dalam perspektif ekonomi.
 

1 comments: