Friday, March 03, 2017
0


FIQH MUAMALAH 'AQAD


    A.    Asal-usul ‘Aqad
‘Akad adalah sebagian dari macam-macam tasharruf, yang dimaksud dengan tasharruf

كُلَّ مَا يَخْصٍ بِإِرَادَتِةِ وَ يُرَتِبُ عَلَيْةِ الشَّرْ عُ نَتَابِحَ حُقُوْقِيَّةٍ

“Segala yang keluar dari seorang manusi dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa hak.”
Tasharruf terbagi menjadi dua yaitu,  tasharruf fi’li dan tasharruf qauli. Thasarruf fi’li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima brang dalam jual beli, merusakkan benda orang lain
Tasharuf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia, tasharuf qauli terbagi menjadi dua yaitu ‘aqdi dan bukan ‘aqdi. Yang dimaksud tasharruf qauli ‘aqdi ialah :

مَا يَّتَكَوَّنُ مِنْ قَوْلَيْنِ مِنْ جَانَبَيْنِ يَرْتَبِطُانِ

“Sesuatu yang di bentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling bertalian.”
Contohnya, jual beli, sewa-menyewa, dan perkongsian.
Thasharruf qauli bukan ‘aqdi ada dua macam yaitu :
1.      Merupakan pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak, dan memerdekakan.
2.      Tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi ia dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, misalnya gugatan, iqrar, sumpah untuk enolak gugatan, jenis kedua ini tidak ada’aqad, tetapi semata perkatan.
   B.     Pengertian ‘Aqad
Menurut bahasa ‘Aqad mempunyai beberapa arti, antara lain :
1.      Mengikat (الرَّبْطُ), yaitu :

جَمْعَ وَيَشُدُّ أَحَدُهُمَا بِاْ لأخَرِ حَتَّى يَتَّصِلَا

“Mengumpulkan dua ujung tali dan dan menngikat salahsatunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
2.      Sambungan (عَقْدَةُ), yaitu :

الْمَوْصِلُ الَّذِىْ يُمْسِكُهُمَا وَيُوَثِّقُهُمَا

“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”

3.      Janji (الْعَهُدُ), sebagaimana di jelaskan dalam Alquran :

بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

Ya, siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, seungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang taqwa (QS Ali Imran : 76)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
"Hai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu" (QS Al- Maidah : 1)

Istilah ‘ahdu dalam Alquran mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau untuk tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tida memerlukan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak, tidak berpengaruh kapada janji yang dibuat oleh orang tersebut seperti yang dijelaskan dalam surah Ali Imran : 76 bahwa janji tetap mengikat orangyang membuatnya.
      Perkataan ‘Aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudin ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubunyan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebuta periktan (‘aqad).
      Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasetiap ‘aqdi (persetujuan) mencakup tiga tahap, yaitu :
a.       Perjanjian (‘aqdu)
b.      Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih, dan
c.       Perikatan (‘aqdu)
Menurut istilah (terminologi), yang dimaksud akad adalah :
اِرْتِبَاطْ اْلإِيْجَابِ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهِ مَشْرُعٍ يُشَبِّتُ الْثَرَاضِىْ

“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.”

مَجْمُوْعُ اؤيْجَابِ أَحَدِالطَّرْفَيْنِ مَعَ قَبُوْلِ الأخَرِ اَوِّالْكَلَامُ الْوَاحِدُالْق ئِمٌ مَقَا مَهُمَا

“Berkumpulnya serahh terima diantar dua pihak atau perkatan seseorang atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”

مَجْمُوْعُ الإِيْجَابِ وَالْقَبُوْلِ اِدَّعَايَقَوْمُ مَقَامَهُمَامَعَ دَلِكَ الْاِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ

“Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.”

رَبْطُ أَجْزَاءِ التَّصَرُّفِ بِالْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ شَرْعًا

“ Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ denga cara serah terima.”
   C.     Unsur-unsur Akad
1.      Pertalian ijab dan qabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu pihak (mujib) untuk melakukan ssuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qabil). Ijab dan qabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan.
2.      Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadis. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun objek akad, tidak boleh bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan, akan mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu prikatan yang mengandung riba atau objek perikatan yang tidak halal (seperti minuman keras), mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut hukum islam.
3.      Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum. Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.

D.    Syarat-syarat Aqad
Setiap pembentuk aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat syarat terjadinya akad dua macam.
a.       Syarat-syarat yang bersifat umum yaitu syarat syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b.      Syarat syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad.
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.
2.      Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli musalamah.
5.      Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
6.      Ijab itu berjalan terus, tidak tercabut sebelum terjadi kabul. Maka bila orang yang berijab menarik ijabnya sebelum kabul, maka batalah ijabnya.
7.      Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal
E.     Rukun-rukun ‘Aqad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatau perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul lagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang mewujudkan oleh akad, rukun-rukun akad adalah sebagai berikut :
a.       Aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain yang terdiri dari beberapa orang, Seseorang yang berakad merupakan wakil dari yang memiliki haq.
b.      Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian, dalam akad gadai.
c.       Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok ijarah ialah memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok ‘iarah adalah memberikan manfaat dari seseorang kepada orang lain tanpa ada pengganti.
d.      Shighat al ‘aqad ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang berlangganan majalah panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Shighat al ‘Aqad ialah :
1.      Shighat al ‘aqad harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab dan qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian, misalnya seseorang berkata “aku serahkan barang ini”, kalimat tersebut masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan, apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah “aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau sebagai pemberian”.
2.      Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tak boleh antara yang berijab dan yang menerima berbeda lafazh, misalnya seseorang berkata, “aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”, tetapi yang mengucapkan qabul berkata, “ aku terima benda ini sebagai pemberian”. Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan qabul akan menimbulkan persengkataan yang dilarang oleh agama islam karena bertentangan dengan ishlah di antara manusia.
3.      Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah harus saling ridha.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad.
1.      Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan cara kitabah. Atas dasar inilah para fuqaha membentuk kaidah:

الْتَابَةُ كَالْخِطَابِ
2.      Tulisan itu sama dengan ucapan. Dengan ketentuan kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.
Isyarat, bagi orang-orang tertentu  akad atau ijab dan qabul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai baca tulis tidak mampu mengadakan ijab dan qabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai baca tulis tidak dapat melakukan ijab qabul dengan ucapan dan dengan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatlah kaidah berikut:

اَلإِشَارَةُ المَعْهُوْدَةُ لِأَ خْرَسَ كَالْبَيَانِ بِاللِّسَانِ

3.      Ta’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalan. Dengan contoh yang jelas dapat diuraikan sebagai berikut “seorang pengail ikan sering memberikan hasil pancingannya kepada seorang petani, petani tersebut memberikan bebrapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan, tanpa disebutkan besar imbalan yang dikehendaki oleh pemberi ikan”. Proses ini dinamakan ta’athi, tetapi menurut sebagian ulama jual beli seperti itu tidak dibenarkan.
4.      Lisan al hal, menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan barang di hadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada aqad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang dengan yang menghadapi letakan barang titipan dengan jalan dalalat al-hal.

F.      Macam-macam Aqad
1.      Aqad Munjiz, yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataam akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaannya setelah adanya akad.
2.      Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.      Aqad Mudhaf, ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dalam akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tiba waktu yang telah ditentukan.
Perwujudan ajad tampak nyata pada dua keadaan berikut.
1.      Dalam keadaan muwadha’ah (taljiah), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Ada tiga bentuk dalam hal ini.
a.       Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah saja untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut telah dijual, misalnya menjual harta untuk menghindari penguasa yang zalim atau penjual harta untuk pembayaran hutang. Hal inidisebut mu’tawadhah pada asal akad.
b.      Mu’awadlah terhadap benda yang digunakan untuk akad. Misalnya dua orang bersepakat membayar mahar dalam jumlah yang besardi hadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan sepakat untuk menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut muwadha’ah fi al-badal.
c.       Mu’wadlah pada pelaku, ialah seseorang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas namanya sendiri, secara batiniah untuk keperluan orang lain, misalnya seseorang membeli mobil atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperluan-keperluan lainnya. Setelah selesai semuanya, dia mengumumkan bahwa akad yang telah ia lakukan sebenarnya untuk orang lain, pembeli hanyalah merupakan wakil yang membeli dengan sebenarnya. Hal ini sama dengan wakalah sirriyah (perwakilan rahasia).
2.      Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolok-olok yang tidak di kehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl memiliki beberapa bentuk, antara lain muwadha’ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad bahwa akad itu hanya main-main, atau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; “Buku ini pura-pura saya jual kepada Anda” atau dengan cara-cara lain yang menunjukkan adanya hazl.
Kecederaan-kecederaan kehendak disebabkan hal-hal berikut:
a.      Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.
b.       Khilabah ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda, terjadi pada akad.
c.       Ghalath ialah persangkaan yang salah, misalnya seseorang membeli sebuah motor, ia menyangka motor tersebut mesinnya masih normal, tetapi sebenarnya telah turun mesin.
Selain akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada perbedaan-perbedaan tinjauan, akad akan ditinjau dari segi-segi berikut.
1.      Ada tidaknya qismah pada akad, maka akad terbagi menjadi dua bagian:
a.       Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
b.      Akad ghairu musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2.      Disyari’atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad tembagi menjadi dua bagian:
a.       Akad musyara’ah ialah akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli.
b.      Akad mamnu’ah ialah akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang dalam perut induknya.
3.      Sah dan batalnya akad,  ditinjau dari segi ini terbagi menjadi dua:
a.       Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencakup persyaratannya, baik syarat yang umum maupun khusus.
b.      Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang salah satu syarat-syaratnya, baik syarat yang umum maupun khusus, seperti nikah tanpa wali.
4.      Sifat bendanya, akad terbagi menjadi dua:
a.       Akad ‘ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.
b.      Akad ghairu ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang pun akad tetap berhasil, seperti akad amanah.
5.      Cara melakukannya, akad tebagi menjadi dua:
a.       Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan yang dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
b.      Akad ridha’iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua pihak, seperti pada akad pada umumnya.
6.      Berlaku atau tidaknya akad dibagi menjadi dua:
a.       Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
b.      Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta.
7.      Luzum dan dapat dibatalkannya akad dibagi menjadi empat:
a.       Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat di pindahkan seperti akad nikah.
b.      Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, seperti persetujuan jual beli.
c.       Akad lazim yang menjadi hak satu pihak.
d.      Akad lazimah yang menjadi hak kedua belah pihak tanpa  menunggu persetujuan, seperti titipan yang boleh diminta oleh penitip tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan.
8.      Tukar-menukar hak dibagi menjadi tiga bagian:
a.       Akad mu’awadlah yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli.
b.      Akad tabarru’at yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian atau pertolongan, seperti hibbah.
c.       Akad yang tabaru’at pada awalnya dan menjadi mu’awadhah pada akhirnya seperti qarad dan kafalah.
9.      Harus dibayar ganti atau tidaknya dibagi menjadi tiga bagian:
a.       Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda itu diterima seperti qaradh.
b.      Akad amanah yaitu tanggung jawab kerusakana oleh pemilik benda bukan oleh yang memegang barang, seperti titipan.
c.       Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur.
10.  Tujuan akad ada lima, yaitu:
a.       Bertujuan tamlik, seperti jual beli.
b.      Untuk mengadakan usaha bersama seperi syirkah dan mudharabah.
c.       Memperkokoh kepercyaan, seperti gadai dan kafalah.
d.      Menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
e.       Mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atas titipan.










0 comments:

Post a Comment