FIQH MUAMALAH 'AQAD
A.
Asal-usul ‘Aqad
‘Akad adalah sebagian dari macam-macam
tasharruf, yang dimaksud dengan tasharruf
كُلَّ مَا يَخْصٍ بِإِرَادَتِةِ وَ
يُرَتِبُ عَلَيْةِ الشَّرْ عُ نَتَابِحَ حُقُوْقِيَّةٍ
“Segala yang keluar dari seorang manusi
dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa hak.”
Tasharruf terbagi menjadi dua
yaitu, tasharruf fi’li dan tasharruf
qauli. Thasarruf fi’li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan
badannya, selain lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima brang
dalam jual beli, merusakkan benda orang lain
Tasharuf qauli ialah tasharruf yang
keluar dari lidah manusia, tasharuf qauli terbagi menjadi dua yaitu ‘aqdi
dan bukan ‘aqdi. Yang dimaksud tasharruf qauli ‘aqdi ialah :
مَا يَّتَكَوَّنُ مِنْ قَوْلَيْنِ مِنْ جَانَبَيْنِ
يَرْتَبِطُانِ
“Sesuatu yang di bentuk dari dua ucapan
kedua belah pihak yang saling bertalian.”
Contohnya, jual beli, sewa-menyewa, dan
perkongsian.
Thasharruf qauli bukan ‘aqdi
ada dua macam yaitu :
1.
Merupakan pernyataan
pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak, dan
memerdekakan.
2.
Tidak menyatakan suatu
kehendak, tetapi ia dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, misalnya gugatan, iqrar,
sumpah untuk enolak gugatan, jenis kedua ini tidak ada’aqad, tetapi semata
perkatan.
B.
Pengertian ‘Aqad
Menurut bahasa ‘Aqad mempunyai
beberapa arti, antara lain :
1.
Mengikat (الرَّبْطُ),
yaitu :
جَمْعَ وَيَشُدُّ أَحَدُهُمَا بِاْ لأخَرِ
حَتَّى يَتَّصِلَا
“Mengumpulkan dua ujung tali dan dan menngikat salahsatunya dengan yang
lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
2.
Sambungan (عَقْدَةُ),
yaitu :
الْمَوْصِلُ الَّذِىْ يُمْسِكُهُمَا
وَيُوَثِّقُهُمَا
“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3.
Janji (الْعَهُدُ),
sebagaimana di jelaskan dalam Alquran :
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى
فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Ya, siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, seungguhnya
Allah mengasihi orang-orang yang taqwa (QS Ali Imran : 76)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ
بِالْعُقُودِ
"Hai orang-orang yang beriman
tepatilah janji-janjimu"
(QS Al- Maidah : 1)
Istilah ‘ahdu dalam Alquran mengacu kepada pernyataan seseorang
untuk mengerjakan sesuatu atau untuk tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada
sangkut pautnya dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tida
memerlukan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak, tidak berpengaruh
kapada janji yang dibuat oleh orang tersebut seperti yang dijelaskan dalam
surah Ali Imran : 76 bahwa janji tetap mengikat orangyang membuatnya.
Perkataan ‘Aqdu mengacu
terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudin
ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji
yang berhubunyan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah
janji (‘ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu
dengan yang lain disebuta periktan (‘aqad).
Dari uraian diatas dapat
dipahami bahwasetiap ‘aqdi (persetujuan) mencakup tiga tahap, yaitu :
a.
Perjanjian (‘aqdu)
b.
Persetujuan dua buah
perjanjian atau lebih, dan
c.
Perikatan (‘aqdu)
Menurut istilah (terminologi),
yang dimaksud akad adalah :
اِرْتِبَاطْ
اْلإِيْجَابِ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهِ مَشْرُعٍ يُشَبِّتُ الْثَرَاضِىْ
“Perikatan ijab dan qabul yang
dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.”
مَجْمُوْعُ اؤيْجَابِ
أَحَدِالطَّرْفَيْنِ مَعَ قَبُوْلِ الأخَرِ اَوِّالْكَلَامُ الْوَاحِدُالْق ئِمٌ
مَقَا مَهُمَا
“Berkumpulnya serahh terima
diantar dua pihak atau perkatan seseorang atau perkataan seseorang yang
berpengaruh pada kedua pihak.”
مَجْمُوْعُ
الإِيْجَابِ وَالْقَبُوْلِ اِدَّعَايَقَوْمُ مَقَامَهُمَامَعَ دَلِكَ
الْاِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
“Terkumpulnya persyaratan serah
terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang disertai dengan
kekuatan hukum.”
رَبْطُ أَجْزَاءِ
التَّصَرُّفِ بِالْإِيْجَابِ وَ الْقَبُوْلِ شَرْعًا
“ Ikatan atas bagian-bagian
tasharruf menurut syara’ denga cara serah terima.”
C.
Unsur-unsur Akad
1.
Pertalian ijab dan qabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu pihak (mujib) untuk
melakukan ssuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah pernyataan
menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qabil).
Ijab dan qabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan.
2.
Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal
yang diatur oleh Allah SWT dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadis.
Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun objek akad, tidak boleh bertentangan
dengan syariah. Jika bertentangan, akan mengakibatkan akad itu tidak sah.
Sebagai contoh, suatu prikatan yang mengandung riba atau objek perikatan yang
tidak halal (seperti minuman keras), mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan
menurut hukum islam.
3.
Mempunyai akibat hukum
terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum.
Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan
oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat
para pihak.
D.
Syarat-syarat Aqad
Setiap
pembentuk aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib
disempurnakan, syarat syarat terjadinya akad dua macam.
a.
Syarat-syarat yang bersifat umum yaitu syarat syarat yang wajib sempurna
wujudnya dalam berbagai akad.
b.
Syarat syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya
wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat
idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti
syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat
umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad.
1.
Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad
orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di
bawah pengampuan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.
2.
Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.
Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual
beli musalamah.
5.
Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap
sebagai imbangan amanah.
6.
Ijab itu berjalan terus, tidak tercabut sebelum terjadi kabul. Maka bila
orang yang berijab menarik ijabnya sebelum kabul, maka batalah ijabnya.
7.
Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab
sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal
E. Rukun-rukun ‘Aqad
Setelah diketahui
bahwa akad merupakan suatau perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau
lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul lagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang mewujudkan
oleh akad, rukun-rukun akad adalah sebagai berikut :
a. Aqid ialah orang yang berakad,
terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari
beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya
masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu
kepada pihak lain yang terdiri dari beberapa orang, Seseorang yang berakad
merupakan wakil dari yang memiliki haq.
b. Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang
diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad
hibah (pemberian, dalam akad gadai.
c. Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau
maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
Dalam akad jual beli tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari penjual
kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang
dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwadh).
Tujuan pokok ijarah ialah memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan
pokok ‘iarah adalah memberikan manfaat dari seseorang kepada orang lain tanpa
ada pengganti.
d. Shighat al ‘aqad ialah ijab dan qabul,
ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad
sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah
perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya
ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya
sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu
terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang berlangganan majalah
panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima
majalah tersebut dari petugas pos.
Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam Shighat al ‘Aqad ialah :
1. Shighat al ‘aqad harus jelas pengertiannya.
Kata-kata dalam ijab dan qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak
pengertian, misalnya seseorang berkata “aku serahkan barang ini”, kalimat
tersebut masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan, apakah benda
tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat yang
lengkapnya ialah “aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau sebagai
pemberian”.
2. Harus bersesuaian antara ijab dan
qabul. Tak boleh antara yang berijab dan yang menerima berbeda lafazh, misalnya
seseorang berkata, “aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”, tetapi
yang mengucapkan qabul berkata, “ aku terima benda ini sebagai pemberian”.
Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan qabul akan menimbulkan persengkataan yang
dilarang oleh agama islam karena bertentangan dengan ishlah di antara manusia.
3. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari
pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau
ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah harus saling ridha.
Mengucapkan
dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad,
tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para
ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad.
1. Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya
dua aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan cara kitabah. Atas
dasar inilah para fuqaha membentuk kaidah:
الْتَابَةُ
كَالْخِطَابِ
2. Tulisan itu sama dengan ucapan. Dengan
ketentuan kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.
Isyarat, bagi orang-orang tertentu akad atau ijab dan qabul tidak dapat
dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak
dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai baca tulis
tidak mampu mengadakan ijab dan qabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan
tidak pandai baca tulis tidak dapat melakukan ijab qabul dengan ucapan dan
dengan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka
dibuatlah kaidah berikut:
اَلإِشَارَةُ
المَعْهُوْدَةُ لِأَ خْرَسَ كَالْبَيَانِ بِاللِّسَانِ
3. Ta’athi (saling memberi), seperti
seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut
memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalan. Dengan
contoh yang jelas dapat diuraikan sebagai berikut “seorang pengail ikan sering
memberikan hasil pancingannya kepada seorang petani, petani tersebut memberikan
bebrapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan, tanpa disebutkan besar
imbalan yang dikehendaki oleh pemberi ikan”. Proses ini dinamakan ta’athi,
tetapi menurut sebagian ulama jual beli seperti itu tidak dibenarkan.
4. Lisan al hal, menurut sebagian ulama,
apabila seseorang meninggalkan barang di hadapan orang lain, kemudian dia pergi
dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu
dipandang telah ada aqad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang
dengan yang menghadapi letakan barang titipan dengan jalan dalalat al-hal.
F. Macam-macam Aqad
1.
Aqad Munjiz, yaitu akad yang
dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataam akad yang diikuti
dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai syarat-syarat dan
tidak pula ditentukan waktu pelaksanaannya setelah adanya akad.
2.
Aqad Mu’alaq ialah akad yang di
dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad,
misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya
pembayaran.
3.
Aqad Mudhaf, ialah akad yang
dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan
akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
Perkataan ini sah dalam akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tiba
waktu yang telah ditentukan.
Perwujudan ajad
tampak nyata pada dua keadaan berikut.
1. Dalam keadaan muwadha’ah (taljiah),
yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak
sebenarnya. Ada tiga bentuk dalam hal ini.
a. Bersepakat secara rahasia sebelum
melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya
secara lahiriah saja untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut
telah dijual, misalnya menjual harta untuk menghindari penguasa yang zalim atau
penjual harta untuk pembayaran hutang. Hal inidisebut mu’tawadhah pada asal akad.
b. Mu’awadlah
terhadap benda yang digunakan untuk akad. Misalnya dua orang bersepakat
membayar mahar dalam jumlah yang besardi hadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan sepakat
untuk menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka sebenarnya telah sepakat
pada jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut muwadha’ah fi al-badal.
c. Mu’wadlah
pada pelaku, ialah seseorang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas namanya
sendiri, secara batiniah untuk keperluan orang lain, misalnya seseorang membeli
mobil atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperluan-keperluan
lainnya. Setelah selesai semuanya, dia mengumumkan bahwa akad yang telah ia
lakukan sebenarnya untuk orang lain, pembeli hanyalah merupakan wakil yang membeli
dengan sebenarnya. Hal ini sama dengan wakalah
sirriyah (perwakilan rahasia).
2. Hazl
ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolok-olok yang tidak
di kehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl memiliki beberapa bentuk, antara lain muwadha’ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua
orang yang melakukan akad bahwa akad itu hanya main-main, atau disebutkan dalam
akad, seperti seseorang berkata; “Buku ini pura-pura saya jual kepada Anda”
atau dengan cara-cara lain yang menunjukkan adanya hazl.
Kecederaan-kecederaan kehendak disebabkan hal-hal berikut:
a.
Ikrah, cacat yang terjadi
pada keridhaan.
b.
Khilabah
ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda, terjadi pada akad.
c.
Ghalath ialah persangkaan
yang salah, misalnya seseorang membeli sebuah motor, ia menyangka motor
tersebut mesinnya masih normal, tetapi sebenarnya telah turun mesin.
Selain akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam tergantung dari sudut
tinjauannya. Karena ada perbedaan-perbedaan tinjauan, akad akan ditinjau dari
segi-segi berikut.
1. Ada tidaknya qismah pada akad, maka akad terbagi menjadi dua bagian:
a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada
hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
b. Akad ghairu musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan
belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Disyari’atkan dan tidaknya akad,
ditinjau dari segi ini akad tembagi menjadi dua bagian:
a. Akad musyara’ah ialah akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan
jual beli.
b. Akad mamnu’ah ialah akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak
binatang dalam perut induknya.
3. Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini terbagi menjadi dua:
a. Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencakup persyaratannya, baik syarat
yang umum maupun khusus.
b. Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang salah
satu syarat-syaratnya, baik syarat yang umum maupun khusus, seperti nikah tanpa
wali.
4. Sifat bendanya, akad terbagi menjadi
dua:
a. Akad ‘ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang
seperti jual beli.
b. Akad ghairu ‘ainiyah yaitu
akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa
penyerahan barang pun akad tetap berhasil, seperti akad amanah.
5. Cara melakukannya, akad tebagi menjadi
dua:
a. Akad yang harus dilaksanakan dengan
upacara tertentu seperti akad pernikahan yang dihadiri oleh dua saksi, wali,
dan petugas pencatat nikah.
b. Akad ridha’iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu
dan terjadi karena keridhaan dua pihak, seperti pada akad pada umumnya.
6. Berlaku atau tidaknya akad dibagi
menjadi dua:
a. Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari
penghalang-penghalang akad.
b. Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan
persetujuan-persetujuan, seperti akad yang berlaku setelah disetujui pemilik
harta.
7. Luzum dan dapat dibatalkannya akad
dibagi menjadi empat:
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat di
pindahkan seperti akad nikah.
b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, seperti persetujuan jual
beli.
c. Akad lazim yang menjadi hak satu pihak.
d. Akad lazimah yang menjadi hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan, seperti titipan yang
boleh diminta oleh penitip tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan.
8. Tukar-menukar hak dibagi menjadi tiga
bagian:
a. Akad mu’awadlah yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti
jual beli.
b. Akad tabarru’at yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian atau
pertolongan, seperti hibbah.
c. Akad yang tabaru’at pada awalnya dan menjadi mu’awadhah pada akhirnya seperti qarad dan kafalah.
9. Harus dibayar ganti atau tidaknya
dibagi menjadi tiga bagian:
a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah
benda itu diterima seperti qaradh.
b. Akad amanah yaitu tanggung jawab kerusakana oleh pemilik benda bukan
oleh yang memegang barang, seperti titipan.
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa
unsur.
10. Tujuan akad ada lima, yaitu:
a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli.
b. Untuk mengadakan usaha bersama seperi
syirkah dan mudharabah.
c. Memperkokoh kepercyaan, seperti gadai
dan kafalah.
d. Menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah
dan washiyah.
e. Mengadakan pemeliharaan, seperti ida’
atas titipan.
0 comments:
Post a Comment