Saturday, February 25, 2017
0


Kaidah Fiqh Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqh yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyah pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama,  kaidah fiqh yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertical antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqh yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang horizontal antar manusia itu sendiri, selain di dalam terdapat nilai-nilai hubungan vertical karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Dalam pembahasan ini, pemakalah akan mencoba membahas cabang-cabang kaidah Al-Yaqin La bi Syakk. Menurut penulis, bahwa  kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk. Kaidah ini menghantarkan kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa pada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya termasuk di dalamnya adalah aqidah dan ibadah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana landasan dalil dan makna dalil Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
2.      Bagaimana pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
3.      Bagaimana Macam-macam kaidah cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui landasan dalil dan makna dalil Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
2.      Untuk Mengetahui pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?
3.      Untuk Mengetahui Macam-macam kaidah cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan Dalil & Makna Dalil
1.      Al-Quran
Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah firman Allah Swt. Dalam QS. Yunus : 36 `yang berbunyi :

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

“Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja sesungguhnya prasangka tidak  akan mengantarkan kebenaran sedikitpun.”
Ayat ini pada mulanya meyoroti karakter orang-orang musyrikyang seringkali berpegang pada prasangka yang tidak bisa dibuktikan kebenaranya. Terhadap tuhan yang mesti disembah pun mereka cenderung berimajinasi pada benda-benda mati yang dlam presepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan kelangsungan hidup. Dengan hal ini Allah swt. Memberi penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak; yakni yang jelas-jelas dapat menunjukan pada kebenaran, bukan yang masih diragukan. Karena walau bagaimanpun, hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejajarkan dengan keyakinan. Daripenegasan ini kan memunculkan keniscayaan bahwa apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini sebelumnya, sudah barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah ada selama belum ada elmen-elemen fundamental yang dapat menunjukan bukti valid bahwa keyakinan itu tidak sesuai ذkenyataan
2.      Hadits
Hadis nabi muhammad yang menjadi pondasi kaidah ini antara lain


اِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئاً فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ ، شَيْءٌ أَمْ لَا ؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا.(روه مسلم)

Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatudi dalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari perutnya) atautidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalatnya), sampai i mendengar suara atau mencium bau” (H.R Muslim)
Menurut al nawawi, hadis ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi ilam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah kaidah fiqh. Dari hadis ini pula terbangun konsep serta metodologi nanalitis mengenai sttus objek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi kesliannya.
Secara eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini nabi menegaskan, keraguan yang baru muncul itu tidak dapat mempengaruhi status wudlunya. Kecuali dia memang benar-benar mendengar bunyi atau mencium bau angin tersebut. Proses mendengar atau mencium bau ini, bisa dijadikan indikasi kuat (amarah) bahwa wudlunya telah batal.
Kedua, Hadits riwayat Bukhari-Muslim r.a :

شكِى الى رسولِ اللّه عليه وسلم الرَجُلُ يُخَيَّلُ اليْهِ أنهُ يَجِدُ الشَئَ فِى الصَّلَاةِ، لا يَنْصَرِ ف حتى يَسْمَعَ صَوتًا أو يجِدَ رِيَحًا

Nabi saw diberi kabar mengenai seseorang yang mersakan angin (yang kelur dari perut) dalam shalatnya. Beliau bersabda “janganlah dia berhenti shalat sampai ia mendengar suara atau mencium bu.”
Hadis kedua ini merupakan ‘lanjutan’ dari hadts pertama, sekaligus penegasan akan substansi yang terkandung di dalamnya. Dalam hadits ini , Nabi saw kembali menegaskan dua hal; keraguan yang berupa perasaan keluar angin tidak dapat merubah status hukum yang telah diyakini sebelumnya, yakni kondisi suci dalam shalat; kedua, keyakinan yang ada hanya dapat ‘dikalahkan’ oleh keyakinan yang lain; berupa kepastian batalnya shalat disebabkan keluarnya ‘angin’ yang bisa dipastikan dengan mendengar suara atau mencium baunya, Ketiga, hadits riwayat muslim r.a :


إِذَ شَكَّ أَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صلَّى ثَلاثًا أمْ ارِبعًا ؟ فَلْيَطْرَح الشَكٌ ولْيَبْنِ عَلي مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمً يَسْجُد سَجْدَ تَيْنِ قَبْلَ اًنْ سَلٌمَ، فَإنْ كَنَ صَلٌي خَمْسًا شفعن له صلاته، وان كان صلي إتما ما لاربع كانتا ترْغيمًا للشيطَا ن


“Apabila diantara kalian ragu dalam shlatatnya apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat ? maka hendaknya di membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpegang lah pada keyakinannya, kemudin sujud (sujud sahwi) lah dua kali sebelum salam. Jika (kenyataanya) dia shalat smpai lima rakaat, maka shalatnya akan genaplah shalatnya. Namun bila empat rakaat, dua sujudnya akan membuat malu setan.”
Secara substantif, hadits ini sama dengan dua hadis sebelumnya, walaupun objeknya berbeda. Jika pada dua hadits sebelumnya yang disinggung adalah keraguan seseorang mengenai status hukum wudlu, maka hadits ketiga ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada jumlah bilangan  rakaat. Pabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan rakaat, maka yang dijadikan pedoman ( ma istayqana) adalah bilangan minimal. Sebab bilangan inilah yang diyakini. Karena apabila yang dipilih adala bilangan yang lebih besar, maka akan ada salah perhitungan. Tetapi jika jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai landasan untuk untuk meneruskan shalat kemungkinan salahnya sangat tipis.
Keempat, hadist riwayat al Turmudzi r.a :

أِذَا سَهَا أحَدُكُمْ فِى صًلاتِه فَلَمْ يَدْرِ وَحِدةً صلَّى أمْ اثْنتَيْنِ فَلْيَبْنِ على وَاحِدةٍ، فأنْ لْم يتيقًنْ صلى اثْنينِ، فأنْ لَمْ يَدْرِ أثلاثًا صلَّى أمْ أرْبعَا فلْيبْنِ على ثلاثٍ، و لْيَسْحُدْ سَحْدَتَيْنِ قَبل أنْ يُسلِّمَ.


“ Ketika salah satu diantara kamu sekalian lupa di dalam shalat, apakah sudah mencapai satu atau dua rakaat ? Maka maka hendaklah dia meyakini sebagai rakaat pertama . apabila kalia tidak yakin apakah shalat dua rakaat atau tiga ? maka hendaklah meyakinkan pada rakaat yang kedua. Apanila tidak tahu apakah tiga atau empat, maka hendaklah melanjutkan rakaat yang ketiga. Dan hendaklah melakukan dua sujud (sahwi) sebelum salam.” 

Dalam hadits ini Nabi saw lebih menjelaskan maksud dari ma istayqana. Apabila ragu antara satu dan dua, maka yang dipilih dalah satu. Demikian pula keraguan yang terjadi antara dua dan tiga, maka yang dipilih adalah dua dan seterusnya. Artinya bahwa, apabila terjadi keraguan dalam hal bilangan semisal jumlah rakaat maka yang dijadikan pegangan (al-mu’tamar) adalah bilangan yang lebih sedikit.

Dari semua hadits yang telah disebutkan di atas, dapat dipetik satu peasn esensial bahwa hukum segala sesuatu harus dilihat dan kondisi asal yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal maka faktor eksternal yang muncul kemudian tidak akan dapat mempengaruhi status hukum batal itu, sehingga hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asal nya adalah sah, maka hukum selanjutnya tetap sah, dengan catatang tidak ada bukti yang meyakinkan yang mampu merubahnya. Darisinilah terbangun al yaqin la yuzalu bi al syak.[1]

B.     Pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk
Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni:
§  Menurut As-Syuyuthi  Al-Yaqin adalah “sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
§  Menurut Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah “pengetahuan yang besifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
§  Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
§  Menurut Imam Al-Jurjani As-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Untuk dapat memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalan menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :
1.      Al-Yakin
Secara bahasa mengetahui dan hilangnya keraguan. Al-Yakin merupakan kebalikan dari Al-Syakk. Bisa disimpulkan bahwa Al-Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sederajat.
2.      Ghalabah al Dzan
Ghalabah al Dzan bisa digambarkan ketika seseorangdihadapkan pada dua kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan.
3.      Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga membuang lainnya yang lemah, maka inilah yang disebut al-dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salah satunya dan membuang yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan.
4.      Al Syakk
Al-syakk secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al-syak adalah setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan hati tidak condong pada salah satunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah disebut salah duga/al wahn.



C.    Macam-macam Kaidah Cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi al-Syak
1.      الْأَصْلُ مَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ(Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini menandaskan bahwa suatu perkara yang telah  berada padaa suatu kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukan terhadap hukum lain. Alasan utama mengapa hukum pertama harus dijadikan pijakan, karena dasar segala sesuatu adalah tidak berubah dan tetap sepereti sediakala. Sementara kemungkinan berubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum. Contohnya, seseorang yang ragu apakah sudah berhadats atau belum, maka maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang sebelumnya. Apabila dalam kodisi sebelumnya i belum berwudlu, maka ia dihukumi berhadats.tapi bila sebelumnya ia sudah bersuci maka dihukumuisuci,
Contoh yang lain adalah seseorang yang ketika shalat jumat meragukan apakah shalat yang dilaksanakan sudah keluar waktu atau belum, keraguan semacam ini tidak akan mempengaruhi keabsahan shalat yang sedang dilaksanakan. Sebab, keluarnua waktu adlah sebuah kemungkinan yang bersifat baru, padahal kondisi asalnya, waktu shalat jumat itu masih tetap ada, dan secara otomatis kondisi asal tersebut teap bertahan hingga shalat selesai dilaksanakan.
Contoh selanjutnya adalah seserorang yag sudah berniat wudlu sebelum membasuh muka yang merupakan permulaan rukun wudlu. Biat itu ia laksanakan saat melaksanak kesunahan wudlu, baik saat berkumur atau memasukan air ke hidung. Ketika mulai membasuh muka, barulah timbul keraguan dalam hatinya, pakah niat ang dilakukan sejak berkumur itu masih da atau hilang. Dalam kondisi seperti inia, wudlunya tetap dihukumi sah, karena keraguan itu timbul dan bersifat spekulatif. Padahal sebelumnya iatelah meyakini bahwa dirinya telah berniat sehingga niat tersebut dianggap ada dan berlangsung hingga ia membasuh mukanya.[2]
2.      الأصْلُ بَرَاءَةُ الدِّمَةِ  (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
"Hukum asal yang dijadikan kaidah oleh para Imam adalah bara'ah adz-dzimrnah (bebas dari tanggungan), wahai orang yang mempunyai himmah."
Penjelasan
Termasuk sub kaidah yang dijadikan hukum asal oleh ulama dan kaidah ke dua adalah bara'ah adz-dzimmali (bebas dari menaggung hak-hak orang lain ketika hak-hak tersebut tidak menjadi tanggungan seseorang. Berlandaskan kaidah ini, satu orang saksi saja tidak bisa menjadi dasar penetapan seseorang harus menanggung hak-hak orang lain, selama tidak ada bukti pendukung lain atau sumpah dari pihak penuntut. Berdasar kaidah ini pula, yang ditenma dalam persidangan adalah statemen terdakwa, karena menetapi kaidah asal. Kaidah mi hanya berlaku bagi orang yang belum ditetapkan memiliki tanggungan, sehingga tidak berlaku bagi orang yang sudah ditetapkan memiliki tanggungan. Berikut ini beberapa aplikasi sub kaidah di atas:
a.       Budi mendakwa Rafi, bahwa ia hutang kepadanya, sedangkan Rafi menolak tuduhan Budi. Dalam kasus ini Rafi yang harus dibenarkan oleh hakim dengan sumpahnya. Sebab, hukum asalnya adalah. Rafi tidak mempunyai tanggungan hutang. Lain halnya jika Rafi mengakui punya hutang kepada Budi, dan menyatakan telah melunasinya. Sebab, dalam kasus ini sudah ada ketetapan Rafi memiliki tanggungan kepada Budi.
b.      Susi mengakui punya hutang satu juta pada Siti, sedangkan Siti menyatakan bahwa hutang Susi sejumlah dua juta. Ddam kasus ini yang dimenangkan adalah Susi, sebab pada prinsipnya Susi terbebas dari tanggungan melebihi dari yang diakuinya sejumlah satu juta.
c.       Seseorang  ragu, apakah punya tanggungan qadha' shalat atau tidak? Maka ia tidak berkewajiban mengqadha' sbalat, sebab hukum asalnya adalah terbebas dari tanggungan qadha'. berbeda bila permasalahannya apakah hari ini sudah shalat atau belum? Maka ia harus melaksanakan shalat, sebab sudah ada keyakinan kewajiban shalat pada hari ini yang harus dilaksanakan, dan ketika ragu apakah teiah melaksanakan kewajiban atau belum, maka dihukumi belum melaksanakan, sebagaimana kaidah berikutnya.[3]


3.       الأ صْلُ عَدَمُ الفِعْلِ(Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan)
      Kaidah ini menandaskan, bahwaa pada dasranya setiap mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjan sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaaannya,. Bayak masalah-fasalah fiqhiyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah seseorang yang meraskan eraguan dalam shalat subuh, apakah ia telah mengerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan melakukan sujud sahwi, karean hukum asalnya dia tidak melaksanakan qunut.
Selain itu dalam kaidah ini tercakup aidah lain yang memiliki ’nafas’ senada denngan kaidah diatas ayitu, seseorang yang telah yakin melakukansuatu perbuatan tapi masih ragu, pakah yang dikerjaan adalah ilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia meilih bilangan yang sedikit, karena bilangan minimal ini sudah pasti dikerjakan. Contoh seorang suami yang menceraikan istrinya, kemudian timbul keraguan apakah iaa telah menjatukan dua atau tiga talak ? maka yang dijadikan pijaan hukum adalah bilangan talak yang lebih sedikit, karena yang lebih sedikit adalah bilangan yang diyakini.[4]

4.      اللأ صْلُ فِى كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَانِ Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang lebih terdekat
Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga terdapat “hukum asala adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya” secara substansi sama saja.
Hukum asal perkara yang baru datang adalah dikira-kirakan dengan waktu terdekat, sebagaimanayangditetapkan."
Penjelasan
Maksud kaidah adalah hukum asal setiap perkara yang baru datang adalah mengira-ngirakannya terjadi pada waktu yang paling dekat. Lebih jelasnya, perhatikan beberapa contoh berikut:
a.       Orang yang melihat sperma di pakaiannya, padahal tidak ingat bermimpi basah, maka ia wajib mandi besar menurut pendapat shahih. Ia juga berkewajiban mengulangi shalat-shalat yang dilakukan setelah tidumya yang terakhir. Karena tidur terakhir itulah masa terdekat kemungkinan ia keluar sperma.
b.      Dalam waktu beberapa hari seseorang wudhu di sumur, dan melakukan shalat. Lalu ia menemukan bangkai yang menajiskan airnya. Dalam kasus ini, ia tidak wajib mengqadha'shalatnya kecuali shalat yang diyakininya dengan najis tersebut.
c.       Orang memukul perut wanita hamil, lalu bayi di kandungannya lahir dalam keadaan sehat. Namun dalam jarak beberapa waktu, si bayi meninggal. Dalam kasus ini, pemukul wanita[5]
5.       اللأ صْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
Penemuan penemuan baru yang tidak pada mas kini, telah dipersiaapkan perangkat hukumnya secara lengkap oleh islam . jauh j-jauh hari islam telah meprediksikan hal itu dan memberikan ketentuan-ketentuan hukum dalam bingkai kaidah yang sangat sederhana, yaitu al ashlu al iabah.
Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan atau apa sja, yang yang belum diketahui status hukumnya dalam syari’at. Semua jenis barang tersebut dihukumi halal, sesuai substansi yang terkandung kaidah ini.
Namun perlu dicatat, sebenarnya masih tejadi perbedaan pendapat diantara kalangan ulam seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama syafiiya menyatakan bahwa hukum asal segala sesutu adalah halala, selama belum ada dalil yang mengharamkanya. Sebaliknya beberapa ulamak hanfiyah berpendapat bahwa hukumasal seala sesuatu adalah haram, selama tidak ada dalil yang menghalakan.[6]


6.      اللأ صْلُ فِى الْكَلَمِ الحَقِيْقَةُ  (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Makna asal suatu ucapan adalah hakikatnya tidak boleh diarahkan pada makna majaznya kecuali terdapat faktor yang menetapkan ucapan itu harus diarahkan pada majaz, seperti tidak mungkin diarahkan pada makna hakikatnya. Maksud hakikat adalah lafal atau kata yang digunakan sesuai dengan maksud lafal tersebut dimunculkan pertama kalinya. Sedangkan majaz adalah penggunaan makna ke dua dari asal lafal tersebut dimunculkan. Berikut beberapa cotoh aplikasi kaidah ini :
a.       Jika seseorang mewakafkan harta pada anaknya (5ST,i) maka cucunya tidak masuk dalam lafal tersebut, sebab hakikat anak adalah anak kandung.
b.      Orang bersumpah tidak akan membeli sesuatu, kemudian ia mewakilkan kepada orang lain untuk membeli barang, maka ia dihukumi tidak melanggar sumpah. Sebab, pada hakikatnya ia tidak melakukan pembelian.
c.       Wakaf kepada orang hafal al-Qur'an, maka tidak memasukan orang yang pernah hafal al-Qur'an namun lupa. Sebab, meski ia pernah hafal al-Qur'an, pada hakikatnya sekarang sudah tidak hafal.
d.      Bersumpah tidak akan membeli barang. Maka orang yang bersumpah tidak dihukumi melanggar sumpah kecuali dengan pembelian yang sah menurut syara'. Sebab hakikat pembelian menurut syara' adalah pembelian yang sah.
e.       Bersumpah tidak akan memakan kambing, maka dihukumi melanggar sumpah ketika memakan dagingnya, karena dagingnya merupakan hakikat dari kambing. Namun ia tidak dihukumi melanggar sumpah jika memakan kulit atau meminum susunya.[7]
7.      الأ صْلُ فِى الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْم (Hukum asal abdla’ (fajri) adalah haram)
Abdla adlah bentuk jamak dari kata budl’ yang makna sinonimnya adalah fajr atau vagina. Budl juga dapat berarti menikahi (tazwij), seperti halnya al nikah yan mempunyai yang mempunyai dua arti; dapat diartikan bersetubuh (wath’i) dan akad pernikahan (aqd al nikah) dalam redaksi lain, kaidah ini diungkapkan dengan kata-kata; al ashlu fil al nikah al hadzru; hukum asal pada hal- hal yang berhubungan dengan nikah adalah dilarang. Perbedaan redaksional pada kaidah ini lebih dipicu oleh faktor penggunaan dua kata yang berbeda, yakni al budl dan al nikah, yang sebenarnya memiliki kemiripan makna. Karena itu, dua kaidah ini sebenarnya hanya berbeda ungkapan namun memiliki hakikta yang sama.
Secra umum dua kaidah diatas mendasarkan bahwa, hukum asal perniahan, yang selalu  terkait dengan persoalan hubungan intim antara suami istri, adalah haram. Sementara diperbolehkannya hubungan seksual diantara keduanya, hanya berlaku setelah melalui proses pernikahan, dilatarbelakangi oleh adanya suatu kebutuhan dasar dan mendesak, yaitu demi menjaga kelestarian keturunan dan mempertahankan populasi manusia.
Dari pokok pikiran semacam in, munculah pemahaman bahwa, bila hukum haram dan halal berkumpul pada ‘diri’ satu orag wanita maka yang diunggulkan adalah hukum haramnya. Dengan kata lain, yang dijadikan pijakan hukum pada diri wanita adalah haram, sebab hukum asal budlnya haram. Contohnya bila seseorang suami menalak tiga pada salah satu diantara keempat istrinya, tapi dikemudian hari ia telah lupa siapa istri yang telah ia ceraikan, maka terdapa dua pendapat hukum dalam hal ini
Pertama, untuk menentuan siapa yang halal atau yang masih sah sebagai istrinya dan siapa yang haram , maka harus dipilih dengan cara pengundian (qar’ah). Wanita yang tidak keluar undiannya mempunyai hukum halal bagi sang suami. Statemen pertama versi imam ahmad bin hambal ini didasri argumen, bila keadaan sangat mendesak (dlarurat), maka kedudukan undian sama dengan saksi atau informan (mukhbir) yang mampu memberi “informasi Hukum” secara valid.
Kedua, utuk menyelesaikan permsalahan diatas tidak dengan mengundi, namun harus di diamkan (tawaquf) dan menunggu waktu sampai ada kejelasan, siapakah istri yang ditalak. Statemen terakhi ini di dukung oleh ibnu qadamah, dan statemen awal di dukung oleh mayorita ualama mazdhab Hambali.[8]
8.      Tidak dianggap, persangkaan yang jelas salahnya
Apabi;a seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor,kemudian wakil debitor atau penanggung jawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggung jawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarnya, karena pemabyarannya dilakukan atas dasar prasangka yang jelas segalanya.
9.      Tidak diakui adanya wahan (kira-kira)
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalamnya zhann yang salah itu prasangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yang salah itu zatnya. Apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan  dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain. Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat daripada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’I yang meyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.


[1] Abdul haq dkk, FORMULASI NALAR FIQH (Surabaya : Khalista, 2006) hal 140-144
[2] Abdul haq dkk, FORMULASI NALAR FIQH (Surabaya : Khalista, 2006) hal 148
[3] M Hamim, Ahmad Muntaha, PENGANTAR KAIDAH FIQH SYAFI.IYAH (Santri Salaf Press : Kediri, 2013) hlam 44-45
[4] Abdul haq dkk, FORMULASI NALAR FIQH (Surabaya : Khalista, 2006) halm 150
[5] M Hamim, Ahmad Muntaha, PENGANTAR KAIDAH FIQH SYAFI.IYAH (Santri Salaf Press : Kediri, 2013) hlam 49
[6] Abdul haq dkk, FORMULASI NALAR FIQH (Surabaya : Khalista, 2006) hlm 151
[7] M Hamim, Ahmad Muntaha, PENGANTAR KAIDAH FIQH SYAFI.IYAH (Santri Salaf Press : Kediri, 2013) hlam 54
[8] Abdul haq dkk, FORMULASI NALAR FIQH (Surabaya : Khalista, 2006) hlm 157

0 comments:

Post a Comment